Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Keuangan mencatat realisasi pembiayaan utang atau penarikan utang baru hingga Mei 2024 sebesar Rp132,2 triliun atau turun 12,2 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai Rp150,5 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penarikan utang baru ini menurun meskipun penerimaan pajak turun dan belanja naik disebabkan pemerintah memanfaatkan penggunaan sumber dari saldo anggaran lebih (SAL) tahun sebelumnya.

"Tentu teman-teman bertanya, kok bisa pembiayaan utang pada saat penerimaan negara turun padahal belanjanya naik? Karena kita juga menggunakan dari sumber yang berasal dari SAL tahun sebelumnya," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita, Kamis, 27 Juni.

Sri Mulyani menyampaikan penurunan realisasi pembiayaan tidak terlepas dari pengelolaan fiskal yang hati-hati sejak pandemi COVID-19 pada tahun 2020 dan terus dilakukan secara konsisten pada masa pemulihan.

“Kami terus menjaga dan mengantisipasi adanya normalisasi seperti ini, dan ini terjadi, sehingga ini adalah dampak dari kehati-hatian kita menjaga APBN selama bertahun-tahun ini, dirasakan manfaatnya seperti situasi hari ini,” tuturnya.

Secara rinci, pembiayaan utang ini utamanya bersumber dari penerbitan surat berharga negara (SBN) turun 2 persen jika dibandingkan periode tahun lalu senilai Rp144,5 triliun menjadi Rp141,6 triliun pada Mei 2024. Nilai tersebut setara 21,3 persen terhadap APBN.

Di sisi lain, realisasi pembiayaan non utang naik 49,2 persen dibandingkan Mei 2023 senilai Rp31,9 triliun menjadi Rp47,6 triliun pada Mei 2023. Angka ini setara dengan 37,9 persen dari pagu anggaran dalam APBN 2024 sebesar Rp 125,3 triliun.

“Realisasi pembiayaan 31 Mei mencapai Rp 84,6 triliun itu turun 28,7 persen pada saat APBN mengalami tekanan penerimaan, belanja naik dan guncangan global yang luar biasa. Itu suatu langkah manajemen fiskal yang sangat prudent dan antisipatif,” tuturnya.

Sri Mulyani menyampaikan pengelolaan pembiayaan anggaran akan terus dilakukan secara prudent dan antisipatif agar bisa melindungi APBN, terhadap ketidakpastian perekonomian global.

“Ini suatu langkah yang disebut manajemen fiskal yang sangat prudent dan antisipatif. Tentu untuk bisa melindungi SBN Indonesia agar tidak mengalami tekanan yang sifatnya besar dan tidak rasional. Ini adalah cara kita mengelola APBN secara hati-hati,” ucapnya.

Sebagai informasi, APBN pada Mei 2024 mengalami defisit sebesar nilai Rp21,8 triliun atau 0,10 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pendapatan negara sebesar Rp1.123,5 triliun atau melambat 7,1 persen dan belanja negara Rp1.145,3 triliun atau tumbuh 14 persen.