Bagikan:

JAKARTA - Indonesia menargetkan swasembada garam pada 2025. Namun hal itu hanya sebatas wacana sampai saat ini. Sebab, nyatanya Indonesia masih bergantung pada garam impor. Bahkan, realisasi impor garam Indonesia sepanjang 2020 mencapai 2,61 juta.

Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang Januari-Februari 2021, Indonesia tercatat masih melakukan impor garam dengan volume mencapai 80,2 ribu ton atau setara dengan 2,61 juta dolar AS. Realisasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan realisasi impor Januari-Februari 2020 yang mencapai 123,76 ribu ton.

Adapun negara langganan Indonesia untuk impor garam adalah Australia, China, India, Thailand, dan Selandia Baru.

Namun, sepertinya Indonesia belum bisa bebas impor garam dalam waktu dekat. Hal ini karena pemerintah tahun ini telah memutuskan untuk kembali melakukan impor garam.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan bahwa keputusan impor itu sesuai hasil rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan.

"Impor garam sudah diputuskan melalui rapat Menko (Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi)," kata Menteri Trenggono di Indramayu, Minggu, 14 Maret.

Saat ini, kata Trenggono, pemerintah masih menunggu data terkait kebutuhan garam di Indonesia, karena ketika sudah didapati kekurangannya, maka itu yang akan diimpor.

Menurut Trenggono, impor garam yang dilakukan juga sesuai neraca perdagangan, sehingga kebutuhan garam dalam negeri itu bisa terpenuhi.

"Nanti misalnya kekurangannya berapa, itu baru bisa diimpor, kita menunggu itu. Karena itu sudah masuk dalam undang-undang cipta kerja," ujarnya.

Pemerintah tidak belajar dari pengalaman

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Puthut Indroyono menyayangkan rencana kebijakan pemerintah untuk membuka impor garam. Menurut dia, rencana ini menunjukan bahwa pemerintah belum memiliki desain pengembangan industri garam nasional yang jelas.

Menurut Puthut, pemerintah saat ini cenderung mengambil kebijakan impor dengan hanya merespons kecenderungan permintaan pasar, sebaliknya pemerintah tidak melihat dari sisi strategi pengembangan industri garam nasional jangka menengah dan panjang.

Bahkan, lanjut Puthut, kebijakan yang diambil cenderung bersifat reaktif jangka pendek dan tidak konstruktif.

Puthut berujar, kebijakan impor semacam ini selalu terus berulang. Menurut dia, pemerintah tidak pernah belajar dari pengalaman sebelumnya.

"Setiap kali pemerintah membuka impor garam, selalu tanpa jawaban kepastian bahwa tahun depan tidak dilakukan kebijakan yang sama," katanya, dikutip dari laman resmi UGM, Rabu, 17 Maret.

Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Puthut mengatakan pemerintah seharusnya memiliki data yang valid soal kebutuhan garam dan memperhatikan kesejahteraan petani garam. Angka kebutuhan garam setap tahun seharusnya sudah diprediksi tonasenya. Sehingga ada target pengurangan impor dari tahun ke tahun yang diikuti dengan target kebijakan produksi dari dalam negeri.

"Bila hal ini dilakukan beberapa tahun ke depan maka swasembada garam dapat dicapai," tuturnya.

Namun, kata Puthut, jika hingga saat ini pemerintah belum memiliki desain kebijakan pengembangan garam nasional yang jelas, maka persoalan kebijakan impor garam akan terus berulang.

Puthut berujar pandemi COVID-19 berdampak pada kendala dalam proses pengiriman produk ekspor impor. Karena itu, kata dia, sudah semestinya dijadikan momentum untuk meningkatkan produksi garam nasional secara lebih komprehensif dan terukur serta melibatkan petani produsen garam.

Selain itu, menurut dia, pemerintah juga perlu memperbaiki tata niaga garam yang berpihak kepada petani garam dan industri dalam negeri.

"Yang saya lihat, selama ini belum terlihat dari kebijakan pemerintah dalam hal industrialisasi pergaraman. Bahkan, isu soal data pun sejak dulu juga terus mengemuka antara instansi yang satu dengan yang lain. Jika soal data saja masih bermasalah, tidak ada kesepahaman, bagaimana memikirkan soal strategi dan pengembangan produksi garam ke depan," tuturnya.

Pemerintah tidak bisa manfaatkan potensi panjang pantai Indonesia

Anggota Komisi IV DPR Ema Umiyyatul Chusnah mengatakan rencana membuka keran impor garam merupakan bentuk nyata dari kegagalan pemerintah dalam meningkatkan potensi garam nasional.

Padahal, kata Ema, Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang 95.181 kilometer (km) dan merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Namun, rupanya tidak mampu dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan garam di dalam negeri.

"Dan (pemerintah) memilih mengimpor garam ke negara-negara dengan garis pantai yang jauh lebih pendek dari negeri ini," ucapnya, dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Senin, 15 Maret.

Seharusnya, kata Ema, kementerian terkait seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bisa bekerja sama dengan kementerian lain seperti Kementerian BUMN memaksimalkan perusahaan plat merah di bidang pangan untuk meningkatkan produksi garam.

"Namun saat ini terkesan tidak ada kordinasi yang membuat potensi Indonesia untuk mencukupi kebutuhan garam sendiri tidak terlaksana. Tahun 2019 dan 2020 lalu pemerintah mengimpor 2,75 juta ton dan 2,92 juta ton garam. Dan jumlah ini nampaknya tidak akan jauh berbeda pada tahun ini," jelasnya.

Alasan Indonesia masih lakukan impor garam menurut Jokowi

Ema mengatakan bukan hanya jumlah yang menjadi permasalahan produksi garam nasional, namun juga kualitas yang dinilai masih di bawah standar sehingga menjadi salah satu alasan impor.

Lebih lanjut, Ema berujar masalah yang sudah terjadi bertahun-tahun tersebut seharusnya sudah mendapatkan solusi.

"BUMN terkait seperti PT Garam yang jelas-jelas harus maksimal melaksanakan fungsinya. Namun sayangnya kinerja PT Garam tidak maksimal dan bahkan di bawah standar. Bahkan banyak aset yang dimiliki tidak dimaksimalkan dengan baik," ucapnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkap alasan mengapa Indonesia harus terus impor garam, meski memiliki sumber daya alam yang besar. Salah satunya karena industri garam nasional memang belum optimal kapasitas produksinya.

Presiden RI, Joko Widodo. (Foto: Dok. Setkab)

"Masih rendah produksi garam nasional kita, sehingga yang kemudian dicari paling gampang yaitu impor garam. Dari dulu begitu terus dan tidak pernah ada penyelesaian," kata Jokowi, beberapa waktu lalu.

Karena itu, optimalisasi produksi menjadi pekerjaan rumah utama bagi Indonesia. Jokowi menilai perlu pembenahan secara besar-besaran pada industri komoditas ini, mulai dari hulu sampai hilir.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga pernah memberi instruksi kepada para pembantunya untuk melakukan tiga langkah. Pertama, melihat lagi ketersediaan lahan produksi garam.

Kedua, mempercepat integrasi antara upaya ekstensifikasi lahan garam rakyat yang ada di 10 provinsi dengan upaya intensifikasi.

Terakhir, Jokowi meminta agar ada pemberian bantuan ke petani garam untuk meningkatkan kualitas produksi mereka.