Bagikan:

JAKARTA - Kebijakan Periodic Call Auction (PCA) dalam Papan Pemantauan Khusus yang diimplementasikan Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 25 Maret lalu mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan pelaku pasar. Hal tersebut lantaran perdagangan saham dengan mekanisme PCA tidak menunjukkan bid/offer dalam orderbook (blind orderbook).

Menanggapi hal tersebut, Direktur Panin Asset Management Rudiyanto mengatakan, perdagangan saham dengan mekanisme PCA blind orderbook dapat dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, mekanisme tersebut dapat mengurangi risiko manipulasi harga saham. Hal ini dikarenakan tidak adanya informasi bid/offer tersebut. Di sisi lain, dengan terbatasnya informasi bid/offer dan mekanisme yang berbeda, menjadi kurang nyaman bagi investor yang terbiasa melakukan trading harian.

“Untuk melakukan menaikkan atau menurunkan harga secara signifikan, para spekulan membutuhkan informasi antrian harga dan volume harga. Dengan tidak tersedianya informasi tersebut dan harga done di harga yang sama, maka untuk melakukan manipulasi harga membutuhkan jumlah uang yang besar,” ujar Rudi pada Senin, 24 Juni.

Rudi mengungkapkan, mekanisme PCA dengan blind orderbook bukanlah hal yang baru di pasar modal Indonesia. Banyak saham-saham di BEI yang ditransaksikan dengan mekanisme PCA, hanya saja berlakunya ketika pre-opening dan pre-closing perdagangan.

“Kalau tentang blind order atau PCA itu sebetulnya kan dari dulu sudah ada. Cuma berlakunya di pre-opening dan pre-closing,” kata dia.

Selain itu, menurutnya, bagi manajer investasi, mekanisme PCA sudah biasa karena hampir semua transaksi reksa dana indeks dilakukan di pasar saat pre-closing. Kebijakan PCA ini ramai di kalangan investor ritel menurutnya karena mereka belum terbiasa dengan mekanisme tersebut.

“PCA itu kalau untuk reksa dana indeks menjadi pilihan utama karena biasanya transaksi dilakukan di pasar pada saat pre-closing. Tapi untuk investor perorangan, kemungkinan karena sosialisasi dan pemahaman yang kurang dan berlaku full sepanjang hari, menjadi polemik di kalangan investor. Untuk itu perusahaan sekuritas harus lebih rajin dalam menjelaskan cara kerja PCA ke nasabahnya,” jelasnya.

Masuknya saham ke Papan Pemantauan Khusus yang menyebabkan transaksinya harus melalui PCA, lanjut Rudi, juga bisa menjadi pertimbangan bagi investor untuk melakukan seleksi emiten sebelum berinvestasi. Investor dapat melihat dan memahami mengapa emiten tersebut masuk dalam Papan Pemantauan Khusus.

“Kalau misalkan ada saham yang masuk ke dalam kategori Papan Pemantauan Khusus, perlu diperhatikan alasannya. Bisa jadi karena faktor teknis non fundamental, misalnya saham beredarnya kurang dari 7,5 persen. Bisa juga faktor yang terkait dengan fundamental dan praktik Good Corporate Governance (GCG) perusahaan seperti terlambat menyerahkan laporan keuangan, pergerakan tidak wajar sehingga di-suspensi, dalam status PKPU, dan sebagainya. Alasan suatu saham masuk dalam Papan Pemantauan Khusus bisa menjadi semacam seleksi awal bagi investor untuk mempertimbangkan apakah tetap mau memegang saham tersebut atau tidak,” jelasnya.

Di samping itu, Rudiyanto juga turut menanggapi revisi peraturan kriteria saham pada Papan Pemantauan Khusus. Menurutnya, solusi yang ditawarkan Bursa bagi emiten yang ingin keluar dari Papan Pemantauan Khusus dapat mendorong Good Corporate Governance (GCG) emiten menjadi lebih baik.

“Salah satunya adalah membagikan dividen tunai. Jadi kalau misalnya perusahaannya memang bagus, tapi masuk ke Papan Pemantauan Khusus, mau keluar caranya bagikan dividen tunai. Itu kan berarti secara tidak langsung, Papan Pemantauan Khusus itu menuntut GCG yang lebih baik daripada emiten. Pemegang saham juga dapat mengusulkan hal tersebut dalam RUPS yang diselenggarakan Perusahaan,” pungkasnya.