Bagikan:

JAKARTA - Komisi IV DPR RI memanggil Eselon 1 Kementerian Pertanian (Kementan), Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan petinggi PT Pupuk Indonesia (Persero) untuk membahas persoalan pupuk bersubsidi.

Dalam RDP tersebut, Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya KKP Tb Haeru Rahayu bercerita bahwa sampai saat ini, belum ada payung hukum untuk melakukan tata kelola pupuk bersubsidi bagi sektor perikanan.

"KKP menemukan kendala dalam pengelolaan pupuk bersubsidi karena belum tersedianya payung hukum yang mengamanatkan pengelolaan pupuk subsidi," ujar pria yang kerap disapa Tebe dalam Komisi IV DPR RI RDP dengan Eselon 1 Kementerian Pertanian, Dirjen Perikanan Budi Daya KKP dan Dirut PT Pupuk Indonesia (Persero) di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu, 19 Juni.

Tebe menegaskan, bahwa pihaknya telah memperjuangkan adanya pemberian pupuk bersubsidi bagi pembudidaya ikan sejak 2022 silam. Mulanya, Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono bersurat kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pada 10 Februari 2022 terkait permohonan usulan alokasi anggaran pupuk bersubsidi untuk pembudidayaan ikan/udang.

Berikutnya, pada 23 Februari 2022, KKP melakukan rapat koordinasi (rakor) dengan Direktorat Pupuk Kementan terikat proses bisnis penyaluran pupuk bersubsidi.

Lalu, pada Maret 2022, KKP kembali melakukan rakor pupuk bersubsidi bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marinves), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Kementan dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).

"Poin-poin pentingnya bahwa UU Nomor 7 Tahun 2016 dan Perpres Nomor 77 Tahun 2005 belum mengakomodir sektor perikanan terkait penyediaan dan pengadaan pupuk bersubsidi. Ini yang menjadi hambatan kami," katanya.

Kemudian pada April-Mei 2022, KKP bersurat ke Menteri Sekretariat Negara bahwa adanya aspirasi kelompok petambak di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, yang meminta perhatian pemerintah terkait pemenuhan alokasi pupuk bersubsidi.

Selanjutnya pada Juni-Juli 2022, ada rakor teknis antara Kemenko Perekonomian, KKP dan Kementan. Poin-poin pentingnya adalah data usulan pupuk bersubsidi.

"Kemudian, Kementan pada saat itu bersedia menyerahkan sebagian anggaran pupuk bersubsidi pada Dipa Bendahara Umum Negara (BUN) sesuai yang dibutuhkan KKP, namun pengelolaannya agar ditangani oleh KKP sendiri," ucap Tebe.

Dia menambahkan, pada 30 Agustus 2022, Menteri Trenggono kembali bersurat kepada Menteri Sekretariat Negara terkait adanya permohonan izin prakarsa untuk rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pupuk bersubsidi bagi sektor perikanan.

Menurut Tebe, pada Oktober 2022, Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya KKP melayangkan surat ke Kementan terkait permohonan relaksasi pupuk subsidi, agar pada 2022 Kementan masih dapat tetap mengalokasikan anggaran untuk pembudidaya.

"Kemudian kami mendapatkan jawaban Menteri Sekretariat Negara di November 2022, bahwa disampaikan di sana konsepsi rancangan Perpres yang kami usulkan masih perlu dilakukan kajian lebih komprehensif mengenai lingkup pengaturan, tata kelola dan mekanisme pemberian pupuk bersubsidi," tuturnya.

Lebih lanjut, kata Tebe, KKP diminta untuk melakukan koordinasi dengan Kementerian Koordinator dan kementerian/lembaga yang terkait.

"Di bulan yang sama kami juga mendapatkan balasan surat dari Mentan yang menjawab bahwa untuk proses relaksasi pupuk bersubsidi, Kementan telah berkirim surat kepada BPK pada 19 September 2022, namun belum mendapatkan arahan dari BPK," ungkapnya.

Kemudian pada 16 Januari 2023, ada rakor Pokja pupuk yang dipimpin oleh Kemenko Perekonomian. Tebe mengungkapkan, ada dua poin penting dalam rakor tersebut. Pertama adalah relaksasi terbatas 2023 untuk pupuk subsidi sektor perikanan tidak dapat dilaksanakan karena BPK sampai saat ini tidak memberikan jawaban atas relaksasi pupuk subsidi sektor kelautan dan perikanan.

"Kemudian, yang kedua KKP agar berkoordinasi dengan Kemenkeu untuk penambahan alokasi anggaran penyaluran pupuk non-subsidi sebagai bantuan pemerintah," imbuhnya.