JAKARTA - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute sekaligus pengamat energi, Komaidi Notonegoro mengungkapkan sejumlah alasan kenapa pemerintah belum menjadikan panas bumi sebagai salah satu prioritas dalam pelaksanaan transisi energi.
Padahal, kata dia, panas bumi mempunyai sejumlah keunggulan dibandingkan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) lainnya.
Dikatakan Komaidi, panas bumi relatif belum dijadikannya prioritas karena adanya sejumlah kendala dalam pengembangan dan pengusahaannya.
"Berdasarkan review terdapat sejumlah risiko yang harus dihadapi oleh pengembang dalam pengusahaan panas bumi di Indonesia," ujar Komaidi, Kamis 13 Juni.
Komaidi merinci, risiko tersebut antara lain risiko kegagalan eksplorasi; risiko finansial akibat tata waktu dan struktur pasar dalam industri panas bumi. Kemudian terdapat risiko hambatan regulasi dan tata kelola seperti perjanjian jual beli listrik (PJBL) panas bumi, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), perizinan, kepemilikan aset serta ketidaksesuaian insentif pemerintah dengan kebutuhan pengembang.
Risiko berikutnya, lanjut Komaidi, kebutuhan modal awal yang cukup besar serta durasi pengembangan relatif lama dan terakhir, lokasi geografis sumber daya panas bumi di daerah terpencil.
"Sejumlah kendala tersebut menjadi penyebab harga jual listrik panas bumi di Indonesia dinilai masih cukup relatif mahal," sambung Komaidi.
Komaidi juga menjelaskan jika permasalahan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di negara yang lain pada dasarnya juga relatif sama dengan permasalahan yang dihadapi di Indonesia.
Akan tetapi, dengan terobosan kebijakan yang dilakukan, sejumlah negara tercatat berhasil mendorong harga listrik panas bumi menjadi kompetitif bahkan lebih murah dari rata-rata BPP listrik nasional negara yang bersangkutan.
"Di antara negara yang tercatat telah berhasil adalah Amerika Serikat, Kenya, Iceland, New Zealand dan Mexico," tambah Komaidi.
BACA JUGA:
Menurutnya Kenya dan Iceland tercatat sebagai negara yang cukup serius dalam mengembangkan dan mengusahakan energi panas bumi. Porsi produksi listrik panas bumi dari Kenya dan Iceland pada tahun 2023 masing-masing mencapai 29 persen dan 26 persen dari total produksi listrik mereka. Porsi EBT dalam bauran produksi listrik Kenya dan Iceland pada tahun 2023 masing-masing adalah 80 persen dan 96 persen terhadap total produksi listrik nasional mereka.
Komdi juga mengatakan jika mengingat ketersediaan sumber daya yang besar dan sejumlah potensi manfaat yang akan diperoleh, memformulasikan dan mengimplementasikan terobosan kebijakan dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi perlu dilakukan oleh para stakeholder pengambil kebijakan.
"Sejumlah terobosan kebijakan yang dilakukan oleh Kenya, Iceland, dan Philipina yang telah terbukti berhasil meningkatkan pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi pada masing-masing negara tersebut kiranya dapat dijadikan sebagai lesson learned untuk pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia," pungkas Komaidi.