Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute sekaligus pengamat energi, Komaidi Notonegoro mengungkapkan, industri panas bumi berpotensi dapat memainkan peranan penting dalam proses transisi dan ketahanan energi nasional.

Diketahui, jika seluruh potensi panas bumi Indonesia dapat dimanfaatkan terdapat potensi penurunan gas rumah kaca (GRK) sekitar 182,32 juta ton CO2e atau setara dengan 58 persen target penurunan GRK sektor energi pada tahun 2030 yang ditetapkan sebesar 314 juta Ton CO2e

"Terkait ketahanan energi, panas bumi memiliki beberapa keunggulan jik dibandingkan dengan jenis energi baru terbarukan lainnya," ujar Komaidi, Kamis 13 Juni.

Komaidi merinci, keunggulan tersebut meliputi tidak tergantung pada cuaca, produksi energi yang lebih besar untuk periode yang sama. Kemudian memiliki tingkat kapasitas lebih tinggi, prioritas untuk kepentingan domestik, tidak terpengaruh kenaikan harga energi fossil serta biaya oeprasi pembangkit yang relatif lebih murah.

Dikatakan Komaidi, dalam kelompok EBT, faktor kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) tercatat yang terbaik yaitu antara 90 hingga 95 persen.

"PLTP tercatat sebagai satu-satunya pembangkit EBT yang dapat beroperasi sebagai beban dasar atau baseload dalam sistem kelistrikan," sambung Komaidi.

Lebih jauh ia menjelaskan, jika faktor kapasitas PLTP yang besar tercermin dari meskipun kapasitas terpasang PLTP milik PLN hanya sekitar 0,79 persen terhadap total kapasitas terpasang, produksi listrik PLTP yang dikelol PLN pada tahun yang sama mencapai sekitar 1,33 persen terhadap total produksi listrik PLN.

Komaidi menyebut, pemanfaatan panas bumi untuk sumber energi domestik dapat membantu mewujudkan ketahanan ekonomi nasional.

Sumber energi panas bumi terbebas dari risiko kenaikan harga energi primer seperti yang terjadi pada energi fosil pada umumnya.

"Karena relatif terbebas dari risiko kenaikan harga, pemanfaatan energi panas bumi dapat membantu menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional," pungkas Komaidi.