Bagikan:

JAKARTA - Indonesia diketahui memiliki 5 kasus atau tuntut di World Trade Organization atau organisasi perdagangan dunia.

Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perdagangan Internasional, Bara Krishna Hasibuan mengatakan kelima kasus ini merupakan kasus yang cukup menantang karena Indonesia juga memiliki hubungan kerja sama dengan Uni Eropa atau European Union terkait Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).

"Jadi kita ada 5 kasus jadi cukup challenging hubungan kita dengan EU. Kita mau selesaikan perundingan CEPA, di lain pihak kita ada 5 kasus di WTO," ujar Bara dalam Mining Zone yang dikutip Selasa 11 Juni.

Ia merinci, kelima kasus tersebut adalah:

1. Gugatan EU atas Larangan EKspor Bijih Nikel

Berdasarkan Catatan VOI, Indonesia digugat oleh Uni Eropa terkait pelarangan ekspor mineral mentah khususnya nikel ke luar negeri yang ditetapkan berlaku sejak 1 Januari 2020. Dalam gugatan tersebut Indonesia dinyatakan kalah pada Oktober 2022.

Berdasarkan hasil sidang, Indonesia dinyatakan kalah karena industri hilirisasinya dianggap belum matang oleh WTO. Menurut WTO, negara yang melarang ekspor suatu komoditas, harus memiliki industri yang benar-benar berkembang, sedangkan Indonesia dinilai belum mencapai kemampuan tersebut.

2. Pengenaan BMAD dan BMI dari Uni Eropa Terhadap Produk Baja Indonesia

Uni Eropa diketahui mengenakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) dan Countervailing Duty atau Bea Masuk Imbalan (BMI) atas impor Baja Tahan Karat Canai Dingin (Cold Rolled Stainless Steel) asal Indonesia.

Pada Oktober 2019, Pemerintah Uni Eropa secara resmi memulai penyelidikan antisubsidi terhadap produk HRSS asal Indonesia berdasarkan permohonan EUROFER.

Uni Eropa menuduh Pemerintah Indonesia memberikan insentif atau bantuan finansial bagi produsen melalui serangkaian kebijakan larangan atau pembatasan ekspor bahan baku mineral, yaitu bijih nikel, batu bara, dan scrap logam, sehingga menekan harga bahan baku tersebut di Indonesia.

Uni Eropa juga menduga adanya dukungan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terhadap pembangunan kawasan industri di Morowali serta industri mineral dan logam di lokasi tersebut melalui kerja sama ekonomi bilateral Indonesia-RRT.

3. Sengketa Kelapa Sawit dengan Uni Eropa

Indonesia dan Uni Eropa juga pernag memiliki kasus sengketa minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO). Pemerintah Indonesia mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa di WTO pada 9 Desember 2019. Gugatan tersebut diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directibe II (RED II) dan Delegated Regulation UE.

Ditambah lagi dengan implementasi Undang-Undang anti deforestasi European Union Deforestation-Free Regulations (EUDR). Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.

4. Gugatan Biodiesel RI

Sebelumnya pada Senin 9 Desember 2019, Komisi Uni Eropa menetapkan tarif bea masuk biodiesel dari Indonesia sebesar 8 hingga 18 persen, besaran yang sama dengan tarif sementara yang diusulkan oleh UE sejak Agustus 2019. UE memastikan pengenaan tarif bea masuk anti subsidi (BMAS) terhadap biodiesel Indonesia atas tuduhan subsidi yang dinilai merugikan produsen UE.

Dalam rilis yang dipublikasikan Komisi Eropa, produsen biofuel Indonesia dinilai telah menjual produk biodiesel dengan harga yang lebih rendah. Penyelidikan terhadap kasus subsidi biodiesel ini menemukan bahwa produsen Indonesia mendapat manfaat dari subsidi, pajak, hingga akses terhadap bahan baku di bawah harga pasar.

"Ini membuat produsen Uni Eropa mengalami kerugian," kata Komisi Eropa seperti dikutip dari Reuters.

5. Gugatan RI kepada Uni Eropa soal Bea Masuk Fatty Acid

Pemerintah Indonesia secara resmi menggugat Uni Eropa ke WTO terkait bea masuk fatty acid atau asam lemak pada 12 Februari 2024.

Disadur dari Reuters, Selasa 11 Juni, Pemerintah Indonesia beranggapan jika tindakan EU tidak sesuai dengan aturan WTO karena asam lemak banyak ditemukan pad berbagai produk seperti obat-obatan hingga pelumas industri.