Bagikan:

JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanam Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan izin usaha pertambahan (IUP) yang diberikan kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan tidak dapat dipindahtangankan.

“IUP ini tidak dapat dipindahtangankan, ini sangat ketat loh, tidak gampang. Sebab IUP ini dipegang oleh koperasi-koperasi organisasi kemasyarakatan itu dan tidak dapat dipindah tangankan dalam bentuk apapun,” tuturnya dalam konferensi pers, di Kantor BKPM, Jakarta, Jumat, 7 Juni.

Lebih lanjut, Bahlil juga memastikan pembagian IUP ini akan dilakukan dengan baik dan transparan. Bahkan, juga tanpa adanya conflict of interest.

“Tidak boleh ada conflict of interest dengan pemegang izin PKP2B sebelumnya, jadi tidak ada moral hazard di sini, dan transparan,” ucapnya.

“Kalau di beberapa negara-negara Eropa, itu organisasi-organisasi gereja di Eropa itu mereka mempunyai konsensi. Nah ini memang barang baru, dan ini adalah pikiran yang mulia, dan pikiran yang sehat yang lahir dari bapak presiden dan didiskusikan kepada kami menteri. Jadi kami menjalankan apa yang menjadi pikiran dalam rangka pemerataan dan prioritas,” ucapnya.

Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Peraturan Pemerintah yang membolehkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).

Ketentuan ini tercantum dalam PP nomor 25 Tahun 2024 tetang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang diteken pada 30 Mei.

Aturan terkait pengelolaan WIUPK oleh ormas tercantum dal Pasal 83A yang menyebutkan, (1) dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.

Adapun WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

“IUPK dan/atau kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan pada Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan Menteri,” bunyi pasal (3) yang dikutip Jumat 31 Mei.

Sementara pada pasal 4 disebutkan kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan dalam badan usaha harus mayoritas dan menjadi pengendali.

Kemudian pada pasal 5 menyebut badan usaha dilarang bekerjasama dengan pemegang PKP2B sebelumnya dan/atau afiliasinya.

Lalu ayat 6 disebutkan bahwa penawaran WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku.

“Ketentuan lebih lanjut mengenai penawaran WIUPK secara prioritas kepada Badan Usaha milik organisasi kemasyarakatan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden,” bunyi ayat 7.

Aturan terkait pengelolaan WIUPK oleh ormas tercantum dal Pasal 83A yang menyebutkan, (1) dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.

Adapun WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

“IUPK dan/atau kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan pada Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan Menteri,” bunyi pasal (3) yang dikutip Jumat 31 Mei.

Sementara pada pasal 4 disebutkan kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan dalam badan usaha harus mayoritas dan menjadi pengendali.

Kemudian pada pasal 5 menyebut badan usaha dilarang bekerjasama dengan pemegang PKP2B sebelumnya dan/atau afiliasinya.

Lalu ayat 6 disebutkan bahwa penawaran WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku.

“Ketentuan lebih lanjut mengenai penawaran WIUPK secara prioritas kepada Badan Usaha milik organisasi kemasyarakatan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden,” bunyi ayat 7.