JAKARTA - Asian Development Bank (ADB) mendorong negara-negara anggotanya untuk menciptakan globalisasi ramah lingkungan dengan membangun perekonomian yang lebih ramah lingkungan dan terbuka.
"Kita juga harus mengembangkan hubungan ini untuk membangun perekonomian yang lebih ramah lingkungan dan terbuka," kata Presiden ADB Masatsugu Asakawa dalam acara pembukaan Pertemuan Tahunan Ke-57 ADB di Concert Hall, Tbilisi, Georgia, dikutip dari Antara, Sabtu 4 Mei.
Presiden ADB Masatsugu menuturkan perdagangan dan rantai pasokan global saat ini memang rentan terhadap guncangan. Namun, jawabannya bukanlah proteksionisme dan segmentasi.
Menurut dia, perdagangan bebas dan pergerakan modal yang bebas telah memberikan manfaat bagi kawasan selama beberapa dekade, dan hal tersebut harus menjadi jalan ke depan.
"Mungkin mudah untuk melihat kembali pandemi ini, atau ketegangan dan konflik geopolitik saat ini, dan menyimpulkan bahwa globalisasi sudah mati. Saya tidak percaya itu," ujarnya.
Oleh karena itu, ia mengajak seluruh pihak dan pemangku kepentingan untuk mencari cara memperdalam kerja sama regional guna membangun ketahanan rantai pasokan, mendorong perdagangan lintas batas, meningkatkan investasi sektor swasta, dan memperkuat kerja sama keuangan dan pajak.
Masatsugu juga mengajak semua negara anggota dan pihak terkait untuk menemukan cara melakukan dekarbonisasi rantai pasokan global. Kegiatan yang berhubungan dengan perdagangan menyumbang hingga 30 persen emisi karbon dunia.
"Kenyataan yang tidak menyenangkan adalah bahwa dengan pertumbuhan Asia yang kuat, kontribusi kita terhadap emisi gas rumah kaca pun meningkat," tuturnya.
Ia menekankan pengurangan emisi terkait rantai nilai global harus dilakukan sedini mungkin dan dengan keterlibatan semua pihak.
"Sekaranglah waktunya untuk bertindak mengurangi emisi terkait rantai nilai global demi masa depan yang lebih berkelanjutan," ujarnya.
Sementara itu, Indonesia terus konsisten mengurangi emisi gas rumah kaca, sejalan dengan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) dalam Perjanjian Paris.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya sebelumnya mengatakan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GKR) Indonesia sudah membuahkan hasil salah satunya dengan terjadi pengurangan 875,7 juta ton CO2 ekuivalen (CO2e) berdasarkan inventarisasi pada 2022.
Jumlah itu telah mendekati target Nationally Determined Contribution (NDC) yang sudah diperbarui yaitu penurunan emisi GRK 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan komunitas internasional pada 2030.
Untuk rinciannya adalah di sektor energi turun 727,33 juta ton CO2e, sektor industri 59,19 juta ton COe, pertanian 90,64 juta ton CO2e, kehutanan dan kebakaran gambut 221,37 juta ton CO2 dan limbah 130,19 juta ton CO2e.
BACA JUGA:
Selanjutnya menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Indonesia mengurangi emisi karbon antara lain dengan mengurangi penggunaan sumber bahan bakar fosil dan meningkatkan pemanfaatan sumber energi yang berasal dari energi baru terbarukan (EBT).
Upaya lain yang dilakukan Indonesia untuk mencapai target pengurangan emisi, tambah Arifin, adalah dengan mendorong pergeseran pemanfaatan mobil listrik untuk menggantikan mobil berbasis energi fosil, dengan menawarkan kemudahan kepemilikan dengan insentif yang menarik.
"Di sektor industri, inovasi untuk mengganti boiler konvensional dengan boiler listrik dan teknologi pompa panas dapat meningkatkan efisiensi energi sebesar 75-95 persen dan mengurangi emisi sebesar 20-60 persen. Juga mengintensifkan teknologi penangkapan dan penyimpanan CO2 dalam produksi hidrogen untuk industri baja dan petrokimia," ujarnya.