JAKARTA - Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai rencana Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia untuk membagikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan merupakan keputusan yang blunder.
Menurut Fahmy keputusan tersebut tidak tepat karena organisasi keagamaan bukan bisnis yang bisa mengolah IUPK, termasuk tidak memiliki kapabilitas yang dibutuhkan.
"Yang bisnis mengelola itu (IUP) saja tidak mudah apalagi dikasih ke masyarakat," ujarnya saat dihubungi VOI, Selasa 30 April.
Fahmy mengaku justru dirinya khawatir pemberian IUP kepada ormas ini akan menjadi pemburuan keuntungan ekonomi tanpa harus menciptaan nilai tambah atau pemburu rente sehingga ormas akan menjual haknya kepada perusahaan lain.
"Ini justru blunder," imbuh Fahmy.
Dikatakan Fahmy, IUP tersebut sebaiknya diserahkan kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) agar bisa memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar wilayah IUP yang biasanya terdampak akibat eksploitasi tambang
"Jadi apakah melalui BUMD atau BUMDes lebih tepat dan hasilnya untuk rakyat terdampak tadi," sambung Fahmy.
Fahmy kembali menegaskan jika keputusan menyerahkan IUP kepada ormas bukan keputusan tepat karena ormas keagamaan tidak memiliki kapabilitas dari segi kemampuan dan modal yang memadai.
Daripada diserahkan kepada ormas keagamaan, Fahmy justru menyarankan pemerintah memberikan 2 persen keuntungan dari hasil tambang kepada ormas.
"Jadi kalau mau membantu organisasi keagamaan berikan saja hasi 2,5 persen dari daerah tertentu kepada ormas yang berhubungan dengan rakyat, bukan dengan memberikan hak karena itu bukan domain dari ormas keagamaan tadi," pungkas dia.
BACA JUGA:
Sebelumnya Bahlil mengatakan, aalasan pemberian IUP ini karena ormas keagamaan memiliki jasa dalam memerdekakan bangsa Indonesia. Karena itu, menurut Bahlil, ormas patut diberikan apresiasi atas segala kontribusinya kepada negara. Salah satunya dengan izin menggarap tambang.
“Logikanya begini loh kalian punya hati enggak sih, NU Muhammadiyah, tokoh-tokoh gereja, Pura Hindu. Di saat Indonesia belum merdeka memang siapa yang merdekakan bangsa ini?,” ucapnya kepada wartawan ditemui di Kantor Kementerian Investasi, Jakarta, ditulis Selasa, 30 April.
Menurut Bahlil, para tokoh agama dan ormas keagamaan berperan besar saat negara menghadapi masalah, dan juga sebelum Indonesia meraih kemerdekaan.
“Di saat agresi militer tahun 1948 yang membuat fatwa jihad memang siapa? Konglomerat? Perusahaan? Yang membuat tokoh-tokoh agama. Kita kok malah enggak senang ya kalau negara hadir untuk membantu mereka? Tapi kok ada yang senang kalau investor yang kita kasih terus,” ujarnya.