Pemerintah Ungkap Kepemilikan Akun Rekening Capai 76,3 Persen di 2023
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko) Airlangga Hartarto. (Foto: Dok. Kemenko Perkonomian)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, tingkat kepemilikan rekening atau akun telah mencapai 76,3 persen pada 2023.

“Tingkat kepemilikan akun telah mencapai 76,3 persen di tahun 2023 dan capaian ini lebih tinggi 0,3 poin daripada target sebesar 76 persen,” kata Airlangga dalam Rapat Koordinasi Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) di Jakarta, Jumat 23 Maret 2024.

Adapun, sepanjang 2023 tingkat inklusi keuangan Indonesia mencapai 88,7 persen.

Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya sebesar 85,1 persen.

Airlangga merinci, Adapun peningkatan inklusi keuangan pada 2023 yang sebesar 88,7 persen antara lain didorong melalui, program KEJAR (Satu Rekening Satu Pelajar) yang sudah mencapai 53,9 juta rekening atau meningkat 2,8 persen year on year (yoy).

Selanjutnya didorong oleh kepemilikan uang elektronik yang sudah mencapai 150,7 juta akun atau naik 11,2 persen (yoy). Serta didorong oleh pembukaan rekening bank untuk nasabah Mekaar sebesar 13,68 juta rekening atau meningkat 92 persen (yoy).

Kemudian 30 juta merchan QRIS, 1,11 juta penyaluran kartu prakerja dan pembiayaan bersubsidi pada 4,64 juta debitur Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta menjangkau masyarakat di area pedesaan 1,18 juta agen laku pandai dan 932 ribu layanan keuangan digital.

Lebih lanjut, Airlangga mengatakan, pemerintah menetapkan target inklusi keuangan untuk 2024 sebesar 90 persen. Sedangkan target kepemilikan rekening tahun ini ditetapkan 80 persen.

“Demikian pula target kepemilikan akun di tahun 2025 diperkirakan sebesar 82 persen, ini kita naikkan 2 persen per tahun, sehingga di tahun 2026 sebesar 84 persen selanjutnya sampai dengan tahun 2029 sebesar 90 persen,” tuturnya.

Di sisi lain, Airlangga menilai masih terdapat berbagai tantangan seperti mengurangi kesenjangan dengan meningkatkan literasi masyarakat.

“Beberapa tantangan masih kita lihat yaitu tadi sudah dijelaskan, terjadi kesenjangan atau gap antara tingkat inklusi dan literasi sebesar 35,4 persen,” tuturnya.

Airlangga menambahkan, tantangan lainnya yaitu disparitas atau perbedaan atau jarak antar daerah dan antar kelompok berbasis sosial ekonomi.

"Disparitas tingkat inklusi dan literasi keuangan antar daerah, antar kelompok sosial masyarakat, dan tentunya masyarakat pedesaan belum sepenuhnya terlayani oleh lembaga keuangan formal sebesar 29,3 persen," jelasnya.

Oleh karena itu, Airlangga menyampaikan masih perlu adanya peningkatan perlindungan hukum bagi konsumen, serta pengukuran data dan keuangan inklusif di berbagai kelompok masyarakat, termasuk masyarakat difabel di daerah tertinggal dan pekerja migran Indonesia (PMI).

“Juga perlu data keuangan inklusif untuk kelompok-kelompok intervensi seperti masyarakat difabel di daerah tertinggal, dan pekerja migran, dan penguatan kelembagaan dari DNKI dan juga percepatan akses keuangan daerah tentang Komite Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan,” ujarnya.

Selain itu, Airlangga menyampaikan, pemerintah tengah menyiapkan RPP komite nasional inklusi dan literasi keuangan ini sebagai amanah Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).