Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, target kepemilikan akun rekening akan naik sebesar dua persen setiap tahun sehingga pada tahun 2024 menjadi 80 persen dan pada tahun 2029 mencapai 90 persen.

“Target kepemilikan akun di tahun 2025 diperkirakan sebesar 82 persen, ini kita naikkan 2 persen per tahun, sehingga di tahun 2026 sebesar 84 persen selanjutnya sampai dengan tahun 2029 sebesar 90 persen,” tuturnya dalam Rapat Koordinasi Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) di Jakarta, Jumat, 23 Maret 2024.

Adapun inklusi keuangan di Indonesia baik dari sisi kepemilikan maupun penggunaan terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.

Hal itu tercermin dari kepemilikan akun meningkat dari tahun 2014 sebesar 36,1 persen, menjadi 65,4 persen pada tahun 2021 dan meningkat menjadi 73,6 persen pada tahun 2023.

“Kita juga perlu dorong tim realisasi kepemilikan rekening di berbagai kelompok masyarakat, masyarakat usia dewasa yang belum memiliki akun di lembaga formal, ini besarnya sebesar 23,7 persen,” kata Airlangga.

Menurut Airlangga, terdapat tiga indikator utama dari inklusi keuangan yang didapat diukur dari indikator jangkauan akses, penggunaan produk keuangan, kualitas secara umum yang juga meningkat secara signifikan.

Sebagai informasi, tingkat inklusi keuangan terus menanjak setiap tahunnya. Pada 2020 mencapai 81,4 persen, pada 2021 meningkat jadi 83,6 persen, pada 2022 meningkat jadi 85,1 persen, dan pada 2023 meningkat jadi 88,7 persen.

Airlangga merinci, Adapun peningkatan inklusi keuangan pada 2023 yang sebesar 88,7 persen antara lain didorong melalui, program KEJAR (Satu Rekening Satu Pelajar) yang sudah mencapai 53,9 juta rekening atau meningkat 2,8 persen year on year (yoy).

Selanjutnya didorong oleh kepemilikan uang elektronik yang sudah mencapai 150,7 juta akun atau naik 11,2 persen (yoy).

Serta didorong oleh pembukaan rekening bank untuk nasabah Mekaar sebesar 13,68 juta rekening atau meningkat 92 persen (yoy).

Kemudian 30 juta merchan QRIS, 1,11 juta penyaluran kartu prakerja dan pembiayaan bersubsidi pada 4,64 juta debitur Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta menjangkau masyarakat di area pedesaan 1,18 juta agen laku pandai dan 932.000 layanan keuangan digital.

Di sisi lain, Airlangga menilai masih terdapat berbagai tantangan seperti mengurangi kesenjangan dengan meningkatkan literasi masyarakat.

“Beberapa tantangan masih kita lihat yaitu tadi sudah dijelaskan, terjadi kesenjangan atau gap antara tingkat inklusi dan literasi sebesar 35,4 persen,” tuturnya.

Airlangga menambahkan, tantangan lainnya yaitu disparitas atau perbedaan atau jarak antardaerah dan antarkelompok berbasis sosial ekonomi.

"Disparitas tingkat inklusi dan literasi keuangan antar daerah, antar kelompok sosial masyarakat, dan tentunya masyarakat pedesaan belum sepenuhnya terlayani oleh lembaga keuangan formal sebesar 29,3 persen," jelasnya.

Oleh karena itu, Airlangga menyampaikan masih perlu adanya peningkatan perlindungan hukum bagi konsumen, serta pengukuran data dan keuangan inklusif di berbagai kelompok masyarakat, termasuk masyarakat difabel di daerah tertinggal dan pekerja migran Indonesia (PMI).

“Juga perlu data keuangan inklusif untuk kelompok-kelompok intervensi seperti masyarakat difabel di daerah tertinggal, dan pekerja migran, dan penguatan kelembagaan dari DNKI dan juga percepatan akses keuangan daerah tentang Komite Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan,” ujarnya.

Selain itu, Airlangga menyampaikan, pemerintah tengah menyiapkan RPP komite nasional inklusi dan literasi keuangan ini sebagai amanah Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).