Bagikan:

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan panduan climate risk management and scenario analysis (CRMS) atau manajemen risiko iklim dan analisis skenario untuk sektor perbankan dalam pengelolaan risiko pengelolaan iklim.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa keuangan (OJK), Dian Ediana Rae mengungkapkan penyusunan panduan CRMS ini dilatarbelakangi oleh 3 urgensi utama. Pertama, dari sisi risiko, Indonesia merupakan negara yang dinilai cukup rentan terhadap isu perubahan iklim.

"Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan risiko fisik terbesar di dunia. Sedangkan dari risiko transisi, Indonesia menduduki peringkat ke-7 negara di dunia yang menghasilkan emisi karbon tertinggi dengan share sebesar 2,3 persen," jelasnya dalam Peluncuran CRMS di Jakarta, Senin 4 Maret 2023.

Urgensi kedua adalah komitmen global dalam pencapaian NZE di 2050 yang dicanangkan pada Paris Agreement dan diturunkan menjadi target NZE Indonesia di 2060 atau lebih cepat.

Dian mengungkapkan pada COP 28 lalu, komitmen tersebut semakin kuat dengan adanya inisiatif berbagai pendanaan terhadap perubahan iklim. Selain itu, kebijakan lainnya juga sudah mulai diterapkan, seperti pembatasan penggunaan energi fosil dan pajak karbon.

Menurut DIan hal ini akan berdampak terhadap lanskap perekonomian dan dunia usaha khususnya pada sektor yang masuk dalam kategori carbon-intensive.

Adapun, urgensi selanjutnya terkait sektor perbankan, The Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) telah menerbitkan Consultative Document “Principles for the Effective Management and Supervision of climate-related financial risks” yang mendorong sektor perbankan untuk mulai mengintegrasikan risiko iklim ke dalam kinerja keuangan termasuk pengungkapannya.

Selanjutnya, Dian menambahkan hal ini diperkuat dengan adanya inisiatif pengembangan model sebagai dasar pengukuran dampak risiko iklim oleh Central Banks and Supervisors Network for Greening Financial System atau NGFS yang merupakan Asosiasi Bank Sentral dan Otoritas Pengawas di dunia dalam menggerakkan respon terhadap isu iklim/pencapaian Paris Agreement.

Untuk mendukung hal tersebut, International Sustainability Standard Board (ISSB) telah menerbitkan IFRS Sustainability Disclosure Standards S1 dan S2 yang merupakan standar pengungkapan risiko dan peluang iklim untuk entitas publik, termasuk perbankan.

Sementara, pada pelaksanaan assesment oleh Financial Sector Assessment Program (FSAP) di Indonesia pada tahun 2023, manajemen risiko iklim di sektor jasa keuangan juga menjadi isu pada preliminary recommendations untuk didorong ke arah penguatan membangun kapasitas bank dan regulator untuk mengembangkan manajemen risiko iklim.

Sejalan dengan arah kebijakan global tersebut, beberapa negara di dunia telah menginisiasi penerapan manajemen risiko iklim pada sektor keuangannya antara lain Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, Australia, Uni Emirat Arab, Hong Kong, Singapura dan Malaysia.

Dian menyampaikan negara-negara tersebut telah menerbitkan guidance untuk pengembangan climate risk management serta telah melakukan stress test exercise kepada perbankan dan industri keuangan lainnya, beberapa diantaranya bahkan telah mempublikasikan hasil climate risk stress test-nya.

Sementara itu, menurut Dian inisiasi pengembangan guidance terkait manajemen risiko iklim di Indonesia sendiri telah dimulai sejak 2023 melalui penerbitan initial guidance secara terbatas.

"Selanjutnya dikembangkan menjadi lebih komprehensif yang dituangkan dalam dokumen Panduan Climate Risk Management and Scenario Analysis (CRMS) 2024," tuturnya.