Bagikan:

JAKARTA - Ketua Bidang Kajian Strategis Pertambangan dari Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Mohammad Toha mengatakan, nikel tetap dibutuhkan dalam industri meski mengalami fluktuasi harga.

"Sejumlah industri seperti industri robot, energi, bahkan energi terbarukan juga akan tetap membutuhkan nikel," ujar Mohammad Toha dalam Webinar bertajuk LFP vs Baterai Nikel: Quo Vadis Masa Depan Nikel Indonesia”, Senin 5 Februari.

Toha menambahkan, terjadi anomali peningkatan harga nikel ketika pandemi mendera dunia tiga tahun lalu.

Padahal, lanjutnya, seluruh sektor ekonomi saat itu sedang lesu karena dihantam pandemi.

“Kenaikan harga nikel itu kemudian disinyalir karena tingginya permintaan nikel untuk baterai mobil listrik. Banyak perusahaan dari luar masuk ke Indonesia dan terjun ke industri nikel karena melihat prospek yang sangat baik dan diperkirakan akan naik lagi,” sambung Tiha.

Sejalan dengan naiknya harga nikel, lanjut Toha, harga Lithium Ferro Phosphate (LFP) juga turut mengalami pelonjakan harga. Hal ini tidak terlepas dari fenomena mobil listrik Tesla yang menggunakan LFP karena dinilai jauh lebih efisien menyimpan energi baterai. Dengan kata lain, penggunaan LFP, lanjut Toha, dalam waktu mendatang akan terus mengalami kenaikan.

“Ini akan berubah menjadi seperti penggunaan ponsel masa kini, di mana semua manusia telah memiliki ponsel. Nantinya kendaraan listrik juga akan begitu, bahwa mobil konvensional akan digantikan oleh mobil listrik berbasis baterai,” ujar dia.

Dengan adanya prospek penggunaan yang begitu banyak, Toha berpendapat perlu adanya tata kelola nikel di Indonesia yang nantinya bisa memastikan adanya pengaturan supply and demand yang baik. Hal ini penting untuk menjaga kestabilan harga.

Meskipun pada faktanya, kata M Toha, penggunaan nikel untuk baterai saat ini masih sangat sedikit, yakni baru sekitar 3 persen.

“Nikel paling banyak digunakan saat ini memang bukan untuk baterai, tetapi oleh industri lain seperti industri militer, otomotif, dan kesehatan. Hanya saja itu tadi, proyeksi penggunaan nikel untuk baterai akan terus mengalami peningkatan. Itulah sebabnya dibutuhkan lembaga yang bisa mengatur. Kalau di minyak kita mengenal OPEC, nah di nikel nantinya juga harus ada. Karena harus diingat bahwa nikel pasti akan dibutuhkan sampai kapanpun selama cadangannya masih ada,” demikian M Toha.

Sementara itu, Pakar Hilirisasi dan Pendiri Indonesian Institute for Mineral and Metal Industries (IM2I) Raden Sukhyar lebih mendorong agar Indonesia bisa lebih maju dalam memanfaatkan cadangan nikel yang berlimpah di Indonesia.

"Jangan lagi hanya berkecimpung di sektor hulu, tetapi sudah saatnya juga ikut berkiprah di hilir," lanjut Sukhyar.

Sukhyar juga menyebut dirinya merasa geram dengan kenyataan hari ini bahwa Indonesia belum memiliki perusahaan BUMN maupun swasta yang bisa dijadikan ikon yang mampu memproduksi barang turunan dari bahan baku nikel.

“Belum ada competitive advantage yang bisa diperoleh dari nikel, padahal sudah seharusnya bisa membangun value chain yang lebih bagus lagi. Indonesia sudah seharusnya menjadi negara penentu, bukan hanya follower bagi negara maju seperti Cina,” ujar Sukhyar.

Menurutnya, hal tersebut terjadi juga karena belum adanya interkoneksi regulasi di antara lembaga pemerintah.

Alhasil, lanjutnya, kebijakan di hulu seringkali tidak sinkron dengan kebijakan di hilir.

Sukhyar mengusulkan, perlu adanya revisi UU BUMN untuk memberikan celah bagi perusahan BUMN untuk tampil sebagai inovator, bukan hanya sekadar perusahaaan yang dipaksa untuk mencari laba.

“Cina sudah melakukan itu. Maka kita butuh reformasi kelembagaan BUMN,” ujar mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM ini.