Bagikan:

JAKARTA - Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Bidang Tata Kelola Minerba Kementerian ESDM Irwandy Arif mengatakan, Indonesia memiliki kekayaan cadangan minieral dan batu bara (minerba), namun tingkat pendapatan per tahun masih rendah.

Irwandy menyebut, keyaan cadangan minerba RI saat ini berkisar antara 3 hingga 4 triliun dolar AS, namun tingkat pendapatan RI pada tahun 2021 hanya sebesar 47 miliar dolar AS untuk komoditas signifikan dan beberapa produk dari hilirisasi.

"Sehingga kalau kita mengekuivalenkan sebagai return of equity (ROE), maka kita mendapatkan hanya 1,2 persen. Sangat kecil. Oleh karena itu, upaya optimalisasi cadangan ini bisa berupa produksi dan hilirisasi makin ke hilir masih harus dilakukan ke depan," ujar Irwandy dalam Indonesia Mining Outlook yang dikutip Senin, 5 Februari.

Selain itu, lanjut dia, dari segi cadangan, RI memiliki 6 komoditas minerba yang menempati ranking dunia, antara lan nikel, timah, bauksit dan emas serta batu bara dan tembaga.

Dari segi produksi, Irwandy menyebut RI memproduksi setidaknya emas sebesar 100 ton per tahun, perak sebesar 400 ton per tahun dan timah sebesar 50.000 ton per tahun.

"Dan perproduk turunan katoda tembaga, nikel mate, ferronikel, dan nickel pig iron atau NPI masing-masing sekitar 200.000, 80.000 ton, 70.000 ton, 50.000 ton dan batu bara 700.000 ton," beber Irwandy.

Irwandy juga menjabarkan jumlah fasilitas pemurnian atau smelter yang dimiliki RI dan dikelola oleh Kementerian ESDM. Adapun jumlah smelter yang dikelola oleh Kementerian ESDM adalah sebanyak 16 smelter dengan 5 smelter telah dalam tahap operasi dan sisanya masih dalam tahap konstruksi.

"Padahal smelter di seluruh Indonesia ini untuk semua komoditas itu sudah lebih dari 100. Sebagian besar dikelola oleh Kementerian Perindustrian," sambung dia.

Dikatakan Irwandy, terdapat beberapa kendala yang dihadapi saat membangun smelter atau fasilitas pemurnian antara lain pendanaan dan biaya yang tinggi untuk teknologi dan manufacturing. Khusus untuk teknologi, kata dia, RI belum memiliki teknologi yang memadai sehingga masih harus membayar dengan biaya yang tinggi.

"Kemudian pasokan energi khususnya energi terbarukan, lahan, perizinan, dan isu-isu lainnya," pungkas Irwandy.