Leonard Theosabrata Cerita Pimpin Smesco Indonesia Pernah Defisit hingga Rp13 Miliar
Direktur Utama Smesco Indonesia Leonard Theosabrata (kiri). Foto: Theresia Agatha/VOI

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Utama Smesco Indonesia Leonard Theosabrata bercerita mengenai lembaga yang dipimpinnya tersebut pernah mengalami masa suram, yakni defisit hingga Rp13 miliar.

Leo menyebut, bahkan lembaga resmi di bawah naungan Kemenkop UKM tersebut pernah mengalami defisit selama dua tahun berturut-turut, yakni pada 2018 dan 2019.

"Waktu awal saya masuk, posisi Smesco ini defisit. Artinya, pendapatannya minus. Saya masuk 2020. Jadi, artinya pada 2018, 2019, lah, itu defisit Rp9 miliar," ujar Leo dalam konferensi pers di kantor Kemenkop UKM, Jakarta, Kamis, 25 Januari.

Dia mengatakan, lembaga resmi di bawah Kemenkop UKM tersebut makin menurun pendapatannya pada saat pandemi COVID-19.

Kala itu, Smesco mengalami defisit paling besar sepanjang sejarah badan usaha tersebut berdiri, yakni mencapai Rp13 miliar.

Menurut Leo, masa suram itu telah membebani moral dirinya. Dia tak ingin dipandang sebagai orang swasta yang masuk ke sektor pemerintahan mengalami kegagalan.

Oleh karena itu, dia fokus untuk keluar dari masa suram itu.

"Jadi, saya merasa keluar dari defisit itu nomor satu. Setelah beberapa tahun, di semua program minta pakai duit orang lain. Jadi, kami nempel nama Smesco saja dan itu (buat) kami berhasil keluar. Lalu, mulai akhir 2023 sudah positif," katanya.

Lebuh lanjut, Leo mengatakan, salah satu program yang cukup berhasil dijalankannya adalah Skyeats.

Skyeats adalah cloud kitchen pertama di Indonesia yang mempunyai fasilitas one line retort kitchen yang dapat memperpanjang umur simpan hingga 12 bulan pada suhu ruang.

Dengan demikian, produk-produk UMKM dapat masuk dalam distribusi ke pasar modern dan jangkauannya lebih luas.

Leo pun berencana untuk memperbesar ukuran kitchen karena saat ini sudah terisi penuh.

Meski begitu, keterisian ini bukan berasal dari pelaku UMKM, melainkan dari usaha-usaha lain yang lebih besar.

Leo mengeklaim pelaku UMKM yang mengikuti program ini baru sekitar 50-an.

Rendahnya angka tersebut dikarenakan pelaku UMKM tidak terbiasa memasak langsung di tempat.

"Namanya planning belum tentu semua jadi kenyataan, yang dapur bersama ini kurang begitu efektif bukan karena biaya sewa, tapi lebih kepada kebiasaan (habit) UMKM itu. Dia inginnya masaknya, ya, di tempatnya sendiri atau buka PO aja kepada Skyeats, memberikan recipe-nya dia. Nah, itu yang banyak terjadi," imbuhnya.