JAKARTA - Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo membeberkan jika pihaknya bersama Enternational Energy Agency dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyepakati skenario Accelerated Renewable Energy Development (ARED) with Coal Phase Down.
Menurutnya, skenario ini merupakan pilih yang paling feasible untuk dijalankan dan akan tercantum dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2024-2033.
"PLN bersama KESDM telah menyepakati skenario yang akan kita ambil adalah skenario ARED yaitu skenario 3 yang akan diterjemahkan dalam RUKN dan dioperasionalisasi dalam RUPTL 2024-2033," ujar Darmawan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI dikutip Kamis, 16 November.
Dalam skenario tersebut, lanjutnya, PLN akan menambah pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) sebesar 75 persen, sedangkan sisanya merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dengan posi 25 persen.
Pada skenario ini, Darmo bilang, Pembangkit Lsitrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara tetap dioperasikan hingga kontrak berakhir dan akan ditambahkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) untuk menekan emisi yang dighasilkan PLTU.
"Tentu saja di sini ada penambahan renewable energy berbasis baseload yaitu 31 GW, kemudian penambahab renewable energi bersifat intermitten yaitu variabel wind dengan solar sekitar 28 GW," beber Darmawan.
Ia juga menyebut akan ada peningkatan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dari sebelumnya 2,4 GW menjadi 5 hingg6 GW.
Darmawan juga mengakui jika belanja modal atau Capex yang harus disiapkan PLN untuk pembangkit berbasis EBT tidak kecil dibandingkan dengan pembangkit bertenaga gas. Kendati pun, biaya operasional (Opex) yang harus dikeluarkan PLN juga akan jauh lebih murah jika menggunakan EBT dibandingkan gas dan batu bara.
Berdasarkan catatan PLN, ia menyebut pembangkit gas 1 GW membutuhkan Capex sebesar 500 juta dolar AS.
Menurutnya, jumlah tersebut lebih murah dibandingkan PLTA 1GW dengan rerata Capex sebesar 2 miliar dolar AS, PLTP 2,7 milar dolar.
"Tapi fuel cost gas mahal jadi kalau tenaga gas investasi murah pembangunan hanya 18 bulan tapi Opexnya mahal. Sedangkan PLTA Capex murah tapi Opexnya sangat murah," lanjut Darmawan.
Lebih jauh, ia menambahkan, terdapat empat skenario lain yang menjadi opsi, salah satunya adalah skenario business as usual dengan semua pembangkit berbasis batu bara dengan asumsi tahun 2031-2040 akan ada penambahan pembangkit listrik dari sumber tersebut.
Skenario tambahan kedua, penambahan pembangkit yang seluruhnya berbasis tenaga gas.
BACA JUGA:
Darmawan bilang, skenario ini juga mempertimbangkan rasio emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari tenaga gas jauh lebih rendah dibandingkan batu bara.
Skenario ketiga, Ultra Accelerated Renewable Energy Development yang menghilangkan pembangkit gas.
Namun, skenario itu tidak dipilih karena operasi sistem nantinya menjadi sangat tidak andal mengingat seluruh pasokan listrik dari evakuasi daya disalurkan lewat transmisi.
Dan skenario terakhir, skenario Ultra Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Out, di mana terdapat program pensiun dini batu bara.