Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki menyebutkan, ada empat kebijakan pemerintah di sektor ekonomi yang bertujuan untuk melindungi pelaku usaha dalam negeri dan memperkuat daya saing produk lokal, mencakup kebijakan substitusi impor, hilirisasi sumber daya alam, transformasi digital, hingga kemudahan pembiayaan bagi UMKM.

Hal tersebut diungkapkan Menteri Teten dalam acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 2 Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi) di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD Tangerang, Banten, pada Selasa, 24 Oktober.

"Kebijakan-kebijakan itulah yang harus ditindaklanjuti dan difollow-up kalangan pelaku usaha dan asosiasi-asosiasi bisnis, termasuk Iwapi," kata Menteri Teten dalam keterangan tertulisnya, dikutip Rabu, 25 Oktober.

Menteri Teten mengatakan, dalam kebijakan substitusi impor, jika Indonesia bisa memproduksi suatu produk kebutuhan domestik, nantinya tidak perlu lagi melakukan impor.

"Bahkan, presiden telah memberikan afirmasi 40 persen belanja APBN untuk membeli produk-produk dalam negeri dari UMKM," ujarnya.

Untuk itu, Teten meminta Iwapi untuk menindaklanjuti kebijakan tersebut melalui LKPP, Kemendag, dan Kementerian Investasi.

"Saat ini, investasi bisa dilakukan harus bekerja sama dengan pelaku usaha dalam negeri," ucap Teten.

Selain itu, kata dia, bila investor asing berinvestasi di Indonesia membangun pabrik, produk hasilnya harus memiliki 40 persen tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).

"Intinya, harus diproduksi di dalam negeri dan bermitra dengan pelaku lokal. Di sini, kami mendorong pelaku UMKM masuk ke dalam rantai pasok industri," tuturnya.

Terkait hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam berbasis komoditas lokal, Teten menegaskan kebijakan tersebut bukan hanya untuk pelaku usaha besar, melainkan juga harus melibatkan pelaku UMKM dalam negeri.

"Kebijakan ini juga melarang ekspor produk tambang mentah, harus diolah di dalam negeri agar meningkatkan nilai tambah dan kualitas lapangan kerja," kata Teten.

Sementara untuk kebijakan akses pembiayaan UMKM, Teten menegaskan harus lebih bagus lagi.

Sebab, saat ini, porsi kredit perbankan untuk UMKM baru 21 persen, jauh tertinggal dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia yang sudah di atas 40 persen. Bahkan, di Korea Selatan sudah lebih dari 80 persen.

"Kami sudah membahas kredit UMKM tidak lagi mengacu pada agunan aset, tapi credit scoring," pungkasnya.