JAKARTA - Business Matching Tahap III kembali digelar sebagai upaya terus meningkatkan pemanfaatan produk dalam negeri (PDN), khususnya dari pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Penyelenggaraan acara ini menjadi upaya pemerintah memastikan rantai pasok alat kesehatan (alkes) produksi dalam negeri bisa meningkat signifikan, sehingga tidak tergantung dari alkes impor.
Adapun penyelenggaran kali ini menjadi kelanjutan dari tahap I dan II yang sukses meraup komitmen belanja pemerintah, pusat, daerah serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN), triliunan rupiah.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kunta Wibawa Dasa Nugraha, berharap kegiatan Business Matching kali ini dapat menghasilkan beberapa solusi berupa kebijakan maupun langkah-langkah strategis, guna mendukung rantai pasok produk secara efisien dan efektif untuk peningkatan penggunaan produk dalam negeri, khususnya alkes.
"Jadi tidak hanya dari sisi demand, tapi dari sisi lainnya harus kita perkuat," kata Kunta Wibawa Dasa Nugraha pada acara Business Matching Tahap III dengan tema 'Peran Rantai Pasok dalam Negeri untuk Mendukung Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI)', di Jakarta Convention Center, Senin, 30 Mei.
Kunta Wibawa mengakui, khusus di bidang kesehatan, rantai pasok untuk produk alkes dan farmasi dalam negeri perlu ditingkatkan.
Upaya itu dilakukan tidak hanya pada perbaikan cara kemasan (packaging) untuk bersaing.
Namun, secara gradual, Kemenkes mendorong produk dalam negeri dapat menuju ke hulu.
Salah satu caranya adalah mendukung peningkatan ketersediaan bahan baku lokal yang berintegrasi bagi industri farmasi dan alkes nasional.
"Jadi dari hulu sampai hilir harus kita perkuat," ujar Kunta Wibawa.
BACA JUGA:
Kunta mengatakan, tersusunnya formularium fitofarmaka menjadi komitmen lain dari pemerintah melalui Kementerian Kesehatan untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian kesehatan nasional di bidang farmasi.
Pasalnya, bahan baku alami obat-obatan banyak tersedia di Indonesia.
Sekadar informasi, fitofarmaka merupakan obat tradisional dari bahan alami yang pembuatannya terstandarkan dan memenuhi kriteria ilmiah. Pengembangan fitofarmaka didasarkan atas ketersediaan bahan baku alam yang banyak diversitasnya di Indonesia.
Kunta mengatakan, fitofarmaka tergolong ke dalam obat tradisional seperti halnya jamu dan obat herbal terstandar. Keamanan dan khasiat fitofarmaka dibuktikan secara ilmiah melalui uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produknya telah distandarisasi.
"Produk fitofarmaka adalah produk berbasis bahan alam yang telah teruji klinis dan terstandarisasi," terang dia.
Menurut Kunta, produk tersebut menjadi satu kelebihan Indonesia karena merupakan inovasi yang dijalankan industri farmasi nasional untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dalam upaya pelayanan preventif dan promotif kesehatan.
"Dengan kondisi pandemi COVID-19 yang belum berakhir dan perekonomian global yang masih dipenuhi ketidakpastian, pemerintah perlu terus mengupayakan akselerasi pembelian determinasi nasional, peningkatan pemanfaatan produk dalam negeri yang disertai dengan penguatan peran sektor UMKM harus terus diupayakan secara maksimal," kata Kunta.
Tentunya upaya itu, lanjut Kunta, membutuhkan sinergi dan dukungan dari berbagai pihak agar menjadi suntikan energi bagi pemerintah untuk terus berjuang mewujudkan cita-cita nasional menuju Indonesia lebih baik dan maju.