KKP Ungkap 6 Tantangan Perikanan Tangkap Nasional, Ini Penjelasannya
Plt Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Agus Suherman. (Foto: Theresia Agatha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut ada enam tantangan dalam menjalankan program perikanan tangkap secara nasional.

Pertama adalah jumlah kapal semakin banyak, tetapi orientasi penangkap ikan tidak mencerminkan mutu setinggi-tingginya.

"Kalau kami lihat sekarang jumlah kapal semakin banyak, tetapi tidak mencerminkan titik optimum seberapa besar yang menguntungkan bagi pelaku usaha, yang memberikan pendapatan besar bagi nelayan dan juga berkontribusi bagi daerah, dalam hal ini PAD maupun bagi negara terutama yaitu penerimaan negara bukan pajak (PNPB)," kata Plt Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Agus Suherman dalam diskusi Perspektif Publik terkait Tranformasi Perikanan Tangkap dan Penerapan e-PIT di Gedung KKP, Jakarta, Senin, 18 September.

Tantangan kedua yaitu ikan makin sulit didapat dan ukuran ikan yang tertangkap juga semakin kecil.

"Kami lihat kondisi faktualnya makin sulit mendapat ikan, ukuran ikan yang tertangkap makin kecil, adanya subsidi BBM 3 juta ton yang disiapkan pemerintah, tetapi hanya terserap 800.000 ton. Hal ini menunjukkan bahwa indikator nelayan itu semakin jauh melakukan upayanya," ujar dia.

Untuk tantangan ketiga ialah daerah penangkapan ikan makin jauh, sehingga mengakibatkan perjalanan (trip) makin lama dan usaha perikanan menjadi tak efisien.

"Sesuai dengan Undang-undang tentang kewenangan pemerintah daerah dan pusat bahwa kapal perikanan yang menangkap ikan di atas 5 Gross Tonnage (GT) atau 12 mil, dia harus pindah berizin pusat," ucap dia.

"Sekarang, bermigrasi jalan dari kurang lebih yang sudah jadi Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) hampir 4.000 kapal dan sekarang yang sudah jadi Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) kurang lebih hampir 3.000 kapal," tambahnya.

Berikutnya, tantangan keempat adalah konflik antar nelayan karena daerah penangkapan ikan (DPI) dan alat penangkapan ikan (API) yang digunakan.

"Jadi, beberapa waktu lalu mungkin terdengar ada pembakaran kapal dari Jawa Tengah oleh nelayan dari Kalimantan Barat. Itu konflik DPI termasuk alat tangkap ikannya. Jadi, kondisi ini harus kami jawab, harus kami selesaikan," tuturnya.

Lalu, tantangan kelima adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas karena manfaat ekonomi dari eksploitasi sumber daya ikan terkonsentrasi di wilayah tertentu (barat).

Agus mengatakan, berdasarkan data Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan), Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718 merupakan salah satu wilayah dengan potensi produksi ikan mencapai dua juta ton per tahunnya.

"Akan tetapi, yang dominan melakukan penangkapan di sana adalah pelaku usaha yang berasal dari luar daerah sana, seperti dari Jakarta, Jawa, dan Sumatera. (Wilayah-wilayah) tersebut melakukan kegiatan penangkapan ikan di sana, jumlahnya sekarang kurang lebih hampir 2.000 kapal yang beroperasi di sana," jelasnya.

Adapun tantangan keenam atau terakhir, yaitu operasional penangkapan ikan yang melanggar ketentuan, seperti operasi kapal tidak berizin, melanggar jalur penangkapan ikan, dan penangkapan ikan ilegal atau Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fishing).