JAKARTA - Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menilai, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) telah membuat penafsiran atau ketentuan yang berbeda dengan perintah Presiden Prabowo Subianto terkait penerapan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Menurut Misbakhun, penafsiran tersebut menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin tertinggi.
"Kalau Dirjen Pajak tidak mampu melaksanakan perintah Bapak Presiden Prabowo sebaiknya memilih untuk menulis surat pengunduran diri (resign) karena apa yang dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Bapak Presiden Prabowo," ujarnya dalam keterangannya, Jumat, 3 Januari.
Dia menyarankan, DJP Kemenkeu seharusnya membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, sehingga tidak menimbulkan multi tafsir dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang tepat.
"Apakah Kementerian Keuangan terutama Direktorat Jenderal Pajak telah menerjemahkan intruksi presiden dengan tepat?," tuturnya.
Misbakhun menyampaikan, terkait aturan pelaksanaan teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 memiliki tafsir subyektif soal pasal Undang Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sehingga berakibat menimbulkan pelaksanaan yang menimbulkan kegaduhan di kalangan dunia usaha.
Dikatakan Misbakhun, persiapan dan pembuatan keputusan yang sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN tidak memberikan waktu kepada pengusaha untuk mempersiapkan perubahan di dalam sistemnya.
"Walaupun pada akhirnya PPN terutang dapat dihitung ulang menggunakan mekanisme pada SPT Masa PPN, tetapi membuat masyarakat harus membayar lebih dari yang seharusnya," ujarnya.
Misbakhun menjelaskan, Presiden Prabowo pada 31 Desember 2024 telah menetapkan bahwa penerapan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen khusus dikenakan terhadap barang dan jasa mewah yang selama ini sudah terkena PPN barang mewah, yang dikonsumsi oleh golongan masyakat berada.
"Anehnya, perintah yang sudah jelas tersebut tidak bisa diterjemahkan dengan jelas oleh para birokrat di Kementrian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sehingga aturan pelaksanaan nya di PMK sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya karena menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12 di mana ada penafsiran tunggal seakan-akan UU HPP tidak bisa menerapkan tarif PPN dengan multi tarif," jelasnya.
Menurut Misbakhun, padahal sangat jelas bahwa UU HPP pasal 7 tidak ada larangan soal multi tarif PPN sehingga tidak ada larangan soal penerapan tarif PPN 11 persen dan PPN 12 persen diterapkan bersamaan sekaligus.
"Tetapi ketika PMK 131 membuat dasar perhitungan yang membingungkan dunia usaha dalam penerapan tarif PPN 11 persen yang tidak naik dengan menggunakan istilah dasar pengenaan lain maka ini menimbulkan pertanyaan soal loyalitas birokrat di Direktorat Jenderal Pajak khusus dirjen pajak dalam menterjemahkan perintah Bapak Presiden Prabowo yang sudah jelas," tuturnya.
Untuk diketahui, Kemenkeu menerbitkan PMK Nomor 131 Tahun 2024 yang menyatakan bahwa atas barang/jasa yang bukan dalam kategori barang mewah dikenakan PPN dengan tarif 12 persen dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak, di mana Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai lain, dalam hal ini 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor.
Sedangkan untuk Masa Transisi pada tanggal 1 Januari 2025 sampai dengan 31 Januari 2025, Pengenaan PPN Barang Mewah dikenakan tarif 12 persen dengan DPP Yang sama dengan Barang atau Jasa yang bukan barang mewah.
BACA JUGA:
Menurutnya, Prabowo menghendaki tarif PPN yang berlaku adalah 11 persen, dan bukan 12 persen untuk barang atau jasa yang bukan barang mewah. Akan tetapi, lanjutnya, dalam peraturan tersebut menyampaikan bahwa tarif PPN yang berlaku adalah 12 persen.
"Memang Dasar Pengenaan Pajak atau faktor pengalinya menggunakan nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual dengan hasil akhir nilai PPN yang dipungut tetap 11 persen atau PPN tidak mengalami kenaikan tarif. Tapi, peraturan ini menimbulkan keresahan di masyarakat, di mana beberapa perusahaan retail telah memungut PPN sebesar 12 persen seperti yang disampaikan Direktur Jenderal Pajak dalam Media Briefing 2 Januari 2025," pungkasnya.