Bagikan:

JAKARTA - Krisis perbankan Amerika Serikat (AS) berpotensi memperlambat laju perekonomian negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.

Ekonom makro ekonomi dan pasar keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas indonesia (FEB UI) Teuku Riefky mengatakan di Jakarta, Kamis, rentetan gejolak perbankan yang terjadi baru-baru ini dapat mempengaruhi kondisi negara berkembang setidaknya dalam dua hal.

Pertama, yakni melalui peningkatan risiko di pasar keuangan global yang mendorong investor untuk mengalihkan portfolio mereka dari aset yang relatif berisiko ke aset yang lebih aman.

“Ini terlihat dari peningkatan Credit Default Swap (CDS) 5 tahun AS dan indeks volatilitas sebagai proksi dari peningkatan risiko dan ketidakpastian,” kata Riefky dilansir ANTARA, Kamis, 4 Mei.

Diperkirakan, hal itu berpotensi membuat pasar negara berkembang mengalami pelemahan aliran dana masuk (inflow) atau aliran dana keluar (outflow).

Kedua, berlanjutnya tren kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS atau Federal Reserves (The Fed) kemungkinan akan menurunkan permintaan ekspor Indonesia oleh AS, dan juga menurunkan impor Indonesia dari AS.

“Pada tahun 2022, pangsa ekspor ke AS mencapai sekitar 10 persen dari total ekspor, sedangkan pangsa impor tercatat sebesar 4,9 persen dari total impor. Oleh karena itu, dinamika terkini di sektor perbankan AS kemungkinan akan mempengaruhi, meskipun secara halus, kinerja perdagangan Indonesia secara keseluruhan,” ujar Riefky.

Di samping itu, gejolak krisis perbankan AS juga berpotensi mengakibatkan dampak tidak langsung melalui depresiasi rupiah yang dapat membuat impor Indonesia relatif lebih mahal.

Namun, Riefky melanjutkan, mengingat rendahnya keterbukaan perdagangan Indonesia secara keseluruhan, 46 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), beban dari runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) pada kasus ini seharusnya tidak begitu signifikan.