Bagikan:

JAKARTA - Di depan para investor Jerman, pada pembukaan Hannover Messe pertengahan April 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyatakan akan menutup seluruh PLTU batubara pada 2025, yang kemudian diklarifikasi menjadi 2050.

Terlepas dari revisi pada tahun pensiun dini PLTU dilakukan, disaat yang bersamaan pemerintah ternyata masih mengizinkan pembangunan PLTU batubara yang bersifat captive di Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI).

Sebagai gambaran, proyek KIHI akan berlokasi di tiga desa (Tanah Kuning, Mangkupadi dan Binai), di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Proyek ini berawal dari ambisi tahun 2015 untuk menjadikan Bulungan sebagai kawasan industri hilir dan pelabuhan industri terbesar di Indonesia.

Pada 2022, bersamaan dengan pengumuman dukungan program Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp314 triliun, kawasan yang tadinya disebut Kawasan Industri dan Pelabuhan Indonesia, berubah rupa menjadi Kawasan Industri Hijau Indonesia.

Saat ini, Kawasan Industri Hijau Indonesia sedang melalui tahap awal perencanaan. Dari 30.000 Ha total lahan, baru 9.500 Ha luas lahan yang siap dikembangkan, yakni melalui wewenang PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (PT KIPI).

Melalui data ANDAL 2021, diketahui akan terdapat dua zona di dalamnya, yaitu Blue Zone (Zona Biru) dan Green Zone (Zona Hijau), yang mana dalam keterangan, Zona Biru dinyatakan sebagai kawasan yang masih disokong oleh pembangkit batubara. Area Zona Hijau akan memiliki luasan sebesar 2.196,56 Ha, sementara Zona Biru sebesar 3.910,41 Ha, atau hampir dua kali lipat dari luasan zona hijau.

Kontradiksi terkait pembangunan kawasan industri hijau tidak sampai di situ. Salah satu perusahaan swasta yang bergerak di pertambangan batubara menjadi pemain utama dengan proyek smelter aluminium senilai 728 juta dolar AS di KIHI. Sementara, perusahaan China Tshingshan diketahui siap mengeluarkan dana 28 miliar dolar AS untuk pembangunan smelter nikel.

Kedua perusahaan iti tidak luput dari kontroversi. Para pemain di sektor hilirisasi mineral tersebut selama ini memiliki reputasi yang buruk dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Pernyataan menarik dari Hannover juga terjadi saat Presiden Jokowi sempat menyatakan, pada 2023, jumlah energi terbarukan di Indonesia berada di titik 23 persen. Angka itu merujuk pada target bauran energi baru terbarukan (EBT) di 2025.

"Kenyataannya, pada 2023, bauran EBT tercatat baru mencapai 13 persen atau hanya naik 1,5 persen dari jumlah bauran energi terbarukan dua tahun sebelumnya, pada 2021, yakni 11,5 persen. Secara realistis, patut kami bertanya apakah mungkin dalam dua tahun ke depan (2025) peningkatan 10 persen porsi EBT mampu kami capai?" kata peneliti Celios Atinna Rizqiana dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Rabu, 26 April.

Selain masalah target bauran EBT yang tidak sinkron dengan kondisi ideal, upaya untuk melakukan penutupan total PLTU juga dipertanyakan. Hal itu terbukti dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, yang mana PLN masih menargetkan penambahan kapasitas PLTU sebesar 13,8 GW.

Ditambah lagi adanya beberapa PLTU captive (kawasan) yang akan dibangun secara serentak di berbagai wilayah smelter nikel dan aluminium, seperti di Morowali, Weda Bay, hingga Kalimantan Utara.