Bagikan:

JAKARTA - Praktik kejahatan keuangan dengan menggunakan kedok koperasi termasuk pencucian uang yang luas dan sistemik dampaknya di kalangan masyarakat dikhawatirkan akan meningkat kasusnya jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian tidak segera disahkan.

Hingga saat ini, Indonesia diketahui belum ada regulasi yang mampu menjalankan fungsi sebagai penangkal terjadinya praktik kejahatan keuangan berkedok koperasi, termasuk pencucian uang yang memanfaatkan celah lemahnya pengawasan koperasi.

Oleh karena itu, akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Emi Nurmayanti berharap RUU Perkoperasian yang baru mampu menjadi tameng untuk menangkal aksi kejahatan kerah putih tersebut.

Dia menyebutkan, aksi pencucian uang di tubuh koperasi memang sebuah fakta yang tak bisa dipungkiri. "Di komunitas koperasi, ada istilah Pengusaha Koperasi," kata Emi kepada wartawan, di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) RUU Perkoperasian, di Jakarta, dikutip Kamis, 13 April.

Emi mengakui, banyak koperasi, khususnya KSP yang melayani non anggota. Bahkan, ada KSP yang memiliki 10.000 nasabah, tetapi hanya 200 orang saja yang menjadi anggota koperasi.

"Ini salah satu celah untuk praktik pencucian uang," ujar dia.

Menurut Emi, sebenarnya pada praktik koperasi di Indonesia, banyak yang melanggar karena pengawasan masih kurang dan lemah. Bahkan, untuk penindakan juga belum ada aturan yang jelas dan tegas.

"Dan baru di RUU Perkoperasian yang baru ini sudah mulai dibahas tentang pengawasan, hingga sanksi pidana," ucapnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi mengungkapkan, setidaknya ada tiga hal krusial dan positif yang bisa dirasakan masyarakat, khususnya anggota koperasi dengan kehadiran RUU Perkoperasian yang baru.

"Pertama, adanya jaminan perlindungan bagi anggota dan koperasi dengan hadirnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Koperasi. Saat ini, ada sekitar 30 juta orang yang tercatat sebagai anggota koperasi yang harus terlindungi simpanannya," tutur dia.

Zabadi menekankan, asas keadilan yang juga bisa dirasakan anggota koperasi, seperti halnya nasabah di sektor perbankan, dengan adanya LPS Koperasi.

"Saya meyakini, bila ada LPS Koperasi, dampak koperasi gagal bayar yang sedang ramai saat ini tidak akan sebesar sekarang," ungkapnya.

Tak hanya itu, Zabadi menyebut, masih banyaknya pelaku UMKM yang belum mendapat akses pembiayaan dari perbankan.

"Bila ada jaminan LPS, jumlah anggota koperasi yang 30 juta akan bertambah besar lagi. Di sisi lain, pelaku UMKM yang belum bankable juga bisa terlayani kebutuhan permodalan dari koperasi," jelasnya.

Kedua, kata Zabadi, dengan adanya RUU Perkoperasian yang baru, koperasi bisa bebas bergerak ke seluruh sektor usaha, tidak hanya simpan pinjam.

"Jangan ada istilah pembonsaian koperasi, karena koperasi juga merupakan entitas bisnis yang memiliki hak sama dengan entitas bisnis lainnya," paparnya.

Ketiga, lanjut dia, RUU Perkoperasian yang baru bakal menghadirkan Otoritas Pengawas Koperasi (OPK). Artinya, dengan semakin majunya dinamika kehidupan di tengah masyarakat, penguatan pengawasan koperasi menjadi sesuatu yang harus dilakukan.

"Koperasi juga merupakan bisnis jasa keuangan. Maka, penguatan pengawasan tentunya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Semua koperasi, termasuk koperasi-koperasi besar, sepakat untuk diawasi OPK," kata dia.

Dia juga menggarisbawahi sanksi pidana yang tegas yang ada dalam RUU Perkoperasian. Sebab, dari pengalaman kasus koperasi bermasalah, bisnis keuangan koperasi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dalam pengembangan bisnisnya.

"Belum lagi menyangkut tindak pidana pencucian uang yang selama ini memanfaatkan keberadaan koperasi," tandasnya.

Oleh karena itu, Zabadi menilai, RUU Perkoperasian yang baru setidaknya bisa menutup celah dan gap yang mungkin terjadi ke depannya.