Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu segera merampungkan revisi Undang-undang tentang perkoperasian.

Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) sendiri menargetkan revisi beleid tersebut akan rampung pada akhir 2023 ini.

Akademisi Universitas Brawijaya Herman Suryokumoro mengatakan, salah satu urgensi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian adalah, yakni terkait sanksi hukum terhadap koperasi yang melanggar dan merugikan masyarakat.

Herman menyebut, koperasi merupakan salah satu bentuk badan hukum usaha yang diamanatkan oleh UUD Tahun 1945, ya g mana sebagian besar usaha di koperasi berbentuk Koperasi Simpan Pinjam/Usaha Simpan Pinjam (KSP/USP). Sementara, kata dia, dalam operasionalnya koperasi kerap kali mengalami praktik penyimpangan.

"Banyak terjadi penyimpangan dalam praktik berkoperasi dalam kegiatan usaha KSP/USP yang merugikan masyarakat. Saya berkesimpulan, pengaturan sanksi pidana sudah saatnya ada dan urgen untuk dilakukan, karena memang koperasi sendiri harus sesuai dengan amanat konstitusi," kata dia dalam keterangan resminya, dikutip Kamis, 21 Desember.

Dia juga menyoroti kondisi mayoritas koperasi di Indonesia yang merupakan sebagian besar bahkan hampir 100 persen melakukan bisnis di sektor USP, meskipun kondisi riil di lapangan, bisnis USP koperasi sedang anjlok.

"Mengapa? Karena harus bersaing dengan perbankan. Dalam perkembangannya, kejahatan keuangan dilakukan dan digerakkan oleh oknum berbaju koperasi. Saya membaca saat bulan puasa, ramai pemberitaan soal dana-dana penggelapan koperasi yang dilakukan oleh manajer atau pengurus koperasi, sudah pasti yang dirugikan masyarakat kecil," ucap Herman.

Misalnya adalah masalah Koperasi Indosurya. Herman menilai masalah tersebut sangat masif.

Bahkan, imbasnya juga terkena kepada koperasi di seluruh Indonesia.

Ditambah ada beberapa indikasi koperasi primer Indonesia yang melakukan simpanan pokok terindikasi dari kasus tersebut.

"Maka, sudah saatnya ke depan diatur sanksi lebih tegas, kepastian hukum, dan jaminan bagi para anggota masyarakat. Karena masih ada KSP yang melayani non-anggota, membuat potensi kerugian di masyarakat pun lebih luas," tuturnya.

Lebih lanjut, Herman mengatakan, bahwa pokok-pokok pengaturan sanksi pidana koperasi juga sudah diatur dalam UU Perkoperasian sebelumnya, yaitu Undang-undang (UU) Nomor 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi, UU Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian, dan UU Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian.

Lalu, ada UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi, UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, dan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi sampai sekarang.

Dengan adanya beberapa beleid tersebut, Herman berharap RUU Perkoperasian yang baru nanti tetap mengacu pada UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi yang dinilainya masih sesuai dengan kondisi saat ini.

"Hanya sebagian kecil pasal-pasalnya yang perlu disesuaikan. Oleh karena itu, kami mengusulkan agar menggunakan undang-undang tersebut, tetapi dengan memperbarui perkembangan-perkembangan terakhir, sehingga RUU Perkoperasian ini lebih luwes dan ramping," ungkapnya.

Selain itu, dia juga mengusulkan agar RUU Perkoperasian mengatur hanya hal-hal pokok dan substansif terkait dengan aspek jati diri, organisasi, permodalan, tata kelola, usaha, peran pemerintah, serta ketentuan pidana dalam kehidupan koperasi Indonesia.

Kemudian, ketentuan yang mengatur organisasi dan usaha koperasi, sebagaimana dimaksud huruf (a) dijaga agar tidak bertentangan dengan ketentuan regulasi yang sudah ada, seperti yang sudah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 yang diubah dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2022.

Selanjutnya, diusulkan juga tidak mengulang atau mengangkat kembali ketentuan yang telah dibatalkan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi No.28/PUU-XI/2013.

Tak sampai di situ, Herman juga menyoroti tentang pembagian jenis koperasi menjadi close loop maupun open loop berdasarkan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang mana pengawasan dibagi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Menurut Herman, jika koperasi ingin lebih mandiri, pengawasan koperasi sebaiknya hanya dilakukan dalam jenis close loop saja sehingga pengawasan sepenuhnya dilakukan oleh Kemenkop UKM.

"Saya setuju koperasi open loop diperiksa oleh OJK. Terus terang saja, kalau koperasinya benar kenapa harus takut dengan OJK, justru mereka yang menolak itu patut saya pertanyakan," imbuhnya.