JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta perbankan memperkuat tata kelola, manajemen risiko dan kehati-hatian di antaranya dengan menerapkan “stress test” atau uji ketahanan dan meningkatkan pemantauan portofolio modal dan aset.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae dalam keterangan tertulisnya mengatakan, pertemuan Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) 22-23 Maret 2023 telah menekankan beberapa hal, di antaranya, pentingnya untuk belajar dari kegagalan Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat.
“Belajar dari kegagalan SVB, BCBS juga terus menekankan pentingnya kecukupan rasio modal dan ketersediaan likuiditas yang memadai,” kata Dian, dilansir dari Antara.
Biaya modal (cost of capital) serta ketersediaan likuiditas dalam jumlah yang cukup memang dianggap mahal dan tidak efisien.
Namun, kata DIan, BCBS mengingatkan bahwa keterbatasan modal dan likuiditas akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar apabila industri perbankan gagal dalam mengantisipasi pergerakan atau gejolak makroekonomi global serta gagal dalam menjaga kepercayaan masyarakat.
“Biaya ekonomi dan sosialnya akan sangat besar dan jauh lebih mahal terlebih apabila hal tersebut memicu efek rembetan (spill over effect) secara global,” ujar Dian.
Kasus kegagalan SVB dan Lehman Brother pada 2008, kata Dian, harus menjadi pelajaran berharga untuk terus memperkuat kesehatan bank.
Dian juga meminta perbankan Indonesia melakukan pemantauan terhadap portofolio aset dan liabilitas termasuk risiko konsentrasi pada pinjaman dan pendanaan.
Lebih lanjut, Dian menilai kerentanan di perbankan global yang terutama dipicu oleh kegagalan bank di Amerika Serikat dan Eropa tidak memiliki dampak signifikan terhadap industri perbankan Indonesia.
Dian menjelaskan berbagai indikator menunjukkan bahwa perbankan Indonesia dalam kondisi yang solid dengan rata-rata rasio prudensial yang tetap di atas rata-rata perbankan global.
BACA JUGA:
Sebagai gambaran, pada posisi Januari 2023, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan Indonesia sebesar 25,93 persen dan sekitar 85 persen komponen modal masuk dalam klasifikasi modal inti (Tier 1 capital; CET 1).
Sebagai perbandingan, rasio modal inti perbankan Amerika 13,52 persen dan Eropa sebesar 16,13 persen.
Selain itu, kinerja likuiditas perbankan Indonesia terjaga dengan baik, antara lain ditunjukkan dengan Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net-Stable Funding Ratio (NSFR) masing-masing tercatat sebesar 232,22 persen dan 134,58 persen.