Bagikan:

JAKARTA - Badan Pangan Nasional (Bapanas) menargetkan kebijakan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) beras pada 2023 sebesar 1-1,5 juta ton, atau persisnya sebesar 1,2 juta ton, di mana jumlah itu merujuk pada volume operasi pasar beras 2022.

Pasokan rata-rata 100.000 ton per bulan. Dua bulan terakhir ini sudah hampir 400.000 ton lebih 200.000 ton per bulan dan sesuai kondisi lapangan, pada Januari hingga Februari harga masih tinggi.

"Panen raya juga belum serempak, sehingga pengeluaran SPHP beras masih cukup tinggi," tutur Direktur Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Bapanas Maino Dwi Hartono dilansir ANTARA, Sabtu, 4 Maret/

Selain menargetkan SPHP beras pada 2023 sebesar 1,2 juta ton, kata Maino, Bapanas menargetkan stok akhir yang dikuasai Bulog sebesar 1,2 juta ton.

Artinya Bapanas mengharapkan Bulog bisa mengelola cadangan beras pemerintah (CBP) 2,4 juta ton.

"Kami belajar dari pengalaman akhir 2022. Bagaimana pemerintah dalam hal ini Bulog, hanya memiliki cadangan 400.000 ton. Secara psikologis, pasar bisa melihat pemerintah tidak punya stok, sehingga harga menjadi tinggi," tutur dia.

Cadangan yang rendah terjadi karena penyerapan gabah/beras oleh Bulog pada 2022 rendah. Agar kejadian serupa tak terulang, kata dia, Bapanas menugaskan Bulog untuk menyerap gabah/beras petani saat panen raya Maret-Mei.

Pada semester I-2023, jelas Maino, Bapanas berharap Bulog bisa menyerap 60 persen-70 persen dari target.

Dia juga menjelaskan, sampai 2 Maret 2023 Bulog telah menyalurkan SPHP beras 420.203.513 kg untuk meredam laju kenaikan harga beras di tingkat konsumen. Namun dia memastikan, pelaksanaan SPHP beras akan dievaluasi setiap bulan.

Bapanas juga telah meminta kepada gubernur, bupati, dan wali kota untuk saling berkolaborasi dalam pelaksanaan program SPHP beras 2023.

"Agar manfaat SPHP beras dapat dirasakan secara maksimal oleh masyarakat," ucapnya.

Sementara itu, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan, SPHP beras dengan instrumen operasi pasar beras umum pada dasarnya sama dengan operasi pasar, yakni sama-sama tak menjamin kepastian gerai  penyaluran beras Bulog.

"Pengelolaan CBP tanpa gerai penyaluran pasti itu perlu perputaran stok yang cepat agar kualitas beras tak turun dan stok tak menumpuk. Sampai saat ini gerai perputaran stok yang cepat, pasti, dan besar itu belum tersedia," kata Khudori.

Situasi itu terjadi sejak pemerintah mengubah Raskin/Rastra menjadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT).

Ketika Raskin/Rastra masih ada, kata Khudori, kebijakan perberasan terintegrasi hulu hingga hilir. Kewajiban pengadaan di hulu yang besar oleh Bulog dijamin oleh kepastian gerai penyaluran di hilir.

Terakhir, Khudori mengusulkan agar pemerintah mengisi CBP dengan beras multikualitas. Sejak 1970-an, jelas dia, CBP diisi beras kualitas medium, karena dengan satu jenis kualitas intervensi pasar seringkali tak efektif.

"Dengan multikualitas, intervensi lebih efektif dan penggunaan CBP lebih luas," jelas dia.