Bagikan:

JAKARTA - Isu mengenai kelangkaan minyak goreng subsidi alias Minyakita di pasaran masih menjadi sorotan hingga saat ini.

Pasalnya, minyak goreng milik pemerintah tersebut paling banyak diburu lantaran harganya yang terbilang murah.

Terkait hal tersebut, Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) menyebut, produsen Minyakita sendiri memang sudah tidak produksi lagi.

Hal tersebut diungkapkan oleh Pelaksana tugas (Plt) Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Sahat Sinaga dalam jumpa pers di Jakarta, pada Selasa, 7 Februari.

"Saya menduga mereka tidak memproduksi Minyakita ini karena tidak ada cuannya (uang), tidak ada dari ekspor juga. Ya, karena di ekspor pun sudah dipotong 142 dolar AS," kata dia.

Sahat mengatakan, produksi Minyakita tidak mendapatkan bantuan subsidi dari pemerintah, sehingga produsen yang harus menutup kerugian itu dengan penghasilan ekspor.

Namun, pasar dunia kini sedang lesu karena adanya resesi global.

Oleh karena itu, Sahat meminta kepada pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan untuk menunda sementara terkait Bea Keluar (BK), agar para pengusaha sawit kembali bergairah melakukan ekspor dan bisa menutupi kerugian mereka dalam memproduksi Minyakita.

"Jadi, ekspor itu jangan dihalangi, supaya tidak dihalangi, maka perlu pengorbanan, pengorbanan Kemenkeu, yaitu bea keluarnya yang sekarang itu 52 dolar AS per ton, sementara ditunda dulu sampai Lebaran ini selesai," ujarnya.

Dengan harga sawit yang sedang jatuh dan melemah, banyak pengusaha yang menahan sawitnya untuk tidak diekspor.

Sahat mengaku, ada sekitar enam juta ton minyak sawit siap ekspor, namun tertahan karena alasan pasar dunia yang sedang melemah, dan jika tetap dipaksakan untuk ekspor ditambah dengan adanya BK, para pengusaha dipastikan hanya akan merugi.

Sementara itu, jika para pengusaha sawit tersebut tidak melakukan ekspor, menurutnya, para pengusaha tidak bisa menutupi kerugiannya dari dalam negeri.

Akibatnya, kata Sahat, produksi Minyakita dihentikan karena tidak bisa memberikan keuntungan.

"DMO adalah konsep hati nurani. Artinya, keuntungan saya dari tempat lain bisa saya share ke subsidi dengan domestik, tetapi konsep ini sekaligus diskriminasi," tuturnya.

Oleh karena itu, Sahat menyarankan pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk berkorban, yakni dengan menunda sementara pengenaan tarif BK yang sudah ada.

"Solusinya, BK sementara ini dinolkan, selama tiga bulan saja sampai dengan Lebaran, sehingga inisiatif ekspor mereka ada. Dengan kondisi resesi global, para eksportir tidak bergairah untuk melakukan ekspor, karena 90 dolar AS untuk PE (pungutan ekspor BPDPKS), dan 50 dolar AS untuk BK," imbuhnya.