JAKARTA - Deru mesin sektor industri pengolahan nonmigas di Tanah Air masih berjalan baik pada awal tahun.
Geliat positif ini tercermin dari hasil survei S&P Global yang melaporkan bahwa Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Januari 2023 sebesar 51,3 atau dalam tahap ekspansif, karena berada di atas level 50,0.
PMI manufaktur Indonesia pada Januari 2023 ini naik dibanding Desember 2022 yang berada di angka 50,9.
"Kinerja gemilang ini sejalan dengan hasil Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Januari 2023 yang telah kami rilis sebelumnya, dengan menunjukkan posisi 51,54 atau meningkat dibandingkan IKI Desember 2022 yang berada di level 50,9," kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, dikutip Kamis, 2 Februari.
Menperin Agus mengatakan, lonjakan PMI manufaktur Indonesia tersebut lantaran kenaikan tingkat output dan permintaan baru.
"Artinya, para pelaku industri masih optimistis dan merespons secara positif sejumlah kebijakan dan kondisi ekonomi nasional, sehinga mereka memperluas aktivitas untuk produksi dalam upaya memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor," ujarnya.
Oleh karena itu, Agus mengapresiasi para pelaku industri manufaktur di Tanah Air yang semakin bergeliat.
"Apalagi tekanan global dari sisi ekonomi mulai mereda, seperti yang bapak presiden sampaikan, bukan berarti resesi tidak terjadi, bisa saja belum. Jadi, kami memang harus tetap optimis, tetapi harus waspada," sebutnya.
Agus menyatakan, kebijakan hilirisasi industri menjadi kunci pertumbuhan ekonomi, sehingga pemerintah konsisten menjalankan industrialisasi secara terintegrasi dari hulu sampai hilir.
"Inilah yang akan mendorong lompatan negara berkembang menjadi negara maju. Jadi, agar bisa menjadi negara maju, kami tidak boleh takut menghilirkan bahan-bahan mentah yang ada di negara kami," ujarnya.
Menurut Agus, dampak positif hilirisasi sudah terbukti pada sektor minerba, misalnya nilai ekspor bahan mentah nikel asal Indonesia meningkat dari Rp17 triliun menjadi Rp450 triliun pada 2022.
"Artinya, ada kenaikan nilai tambah yang sangat besar sekali karena efek dari hilirisasi," jelas Agus.
Pemerintah juga secara bertahap akan menghentikan ekspor bahan mentah yang berpotensi bisa dikembangkan di Indonesia.
"Setelah setop ekspor nikel, pemerintah juga akan bertahap setop ekspor bauksit, kemudian nanti setop timah. Sebab, dengan menghasilkan produk jadinya, nilai tambah bisa naik ratusan kali lipat," ungkap Agus.
Di samping itu, proyeksi dampak dari hilirisasi minerba dan migas itu akan menambah PDB nasional sebesar 699 miliar dolar AS, serta lapangan kerja yang akan terbuka hingga mencapai 8,8 juta.
"Ini sebuah dampak yang sangat besar sekali, membuka lapangan kerja yang sebesar-besarnya. Selain itu, kami menargetkan PDB pada 2045 sebesar 9-11 triliun dolar AS, tetapi kami harus konsisten untuk menjalankan hilirisai ini. Jangan takut dan kawal terus," imbuhnya.
BACA JUGA:
Sekadar diketahui, PMI manufaktur Indonesia pada Januari 2023 mampu melampaui PMI manufaktur ASEAN (51,0), Malaysia (46,5), Vietnam (47,4), dan Myanmar (49,6).
Kemudian, Korea Selatan (48,5), Jepang (48,9), Taiwan (44,3), China (49,2), Uni Eropa (48,8) dan Amerika Serikat (46,8).