Bagikan:

JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan, ekspektasi besar pemulihan ekonomi muncul setelah tiga tahun pandemi COVID-19.

Menurut dia, mobilitas masyarakat yang berangsur normal membawa harapan tersendiri usai dipaksa membatasi aktivitas demi menekan penyebaran virus.

“Tiga tahun setelah ‘hibernasi’, kita tiba-tiba percaya diri dengan ditemukannya vaksin sehingga bisa melakukan kegiatan lagi,” ujarnya di Jakarta pada Senin, 8 Januari.

Meski begitu, realita pemulihan ternyata tidak serta-merta sesuai dengan yang dibayangkan. Menkeu menjelaskan bahwa terjadi fenomena lonjakan permintaan (demand) yang tidak bisa dipenuhi oleh sisi penawaran (supply).

“Tidak semuanya kembali secara lancar. Seperti banyak resoran yang sudah buka tapi sulit mendapatkan karyawan. Lalu peti kemas, karena tiga tahun tidak terjadi traffic maka banyak countainer ada di berbagai negara. Jadi kita bisa lihat, demand-nya di mana, supply-nya di mana hingga countainer-nya di mana,” tutur dia.

Bendahara negara menambahkan, gambaran ini kemudian bertambah pelik dengan ketiadaan pekerja di pelabuhan. Mereka hanya mau bekerja apa bila dibayar lebih mahal.

“Itu juga memicu inflasi karena upah harus dinaikan untuk menarik orang keluar dari ‘kandangnya’. Ini adalah kombinasi antara jumlah barang, jumlah permintaan, jumlah services, dan gaji yang meningkat. Ini terjadi di negara maju dan memicu inflasi,”katanya.

Padahal, sambung Menkeu, para policymakers memperkirakan inflasi hanya bersifat sementara untuk mencapai titik keseimbangan antara penawaran dan permintaan.

Belakangan, situasi diperparah oleh faktor perang di Ukraina yang semakin mengganggu rantai pasok kebutuhan global.

“Ini yang dikhawatirkan otoritas moneter. Jika inflasi yang naik itu sudah menjadi tren (berkelanjutan), maka akan sangat painful untuk menurunkannya. Ini juga yang menjelaskan mengapa The Fed (bank sentral AS) menaikan suku bunga sudah 425 basis points dalam setahun yang merupakan tertinggi dan tercepat di Amerika sepanjang sejarah,” ungkap dia.

Sebagai informasi, fenomena inflasi tinggi bahkan mencapai dua digit umumnya terjadi di negara maju, seperti Turki, Inggris dan AS.

Kondisi itu membuat bank sentral menjadi agresif dengan menaikkan suku bunga demi meredam laju inflasi.

Adapun, inflasi di negara maju selama ini sangat rendah bahkan mengalami deflasi. Bank sentral pun sampai-sampai menerapkan suku bunga negatif untuk ‘memaksa’ dana yang mengendap diperbankan agar keluar dan dipakai kegiatan produktif maupun konsumtif yang menutar roda ekonomi.

Indonesia sendiri pada awal 2022 mematok target inflasi di level 3 persen plus minus 1 persen. Namun, dalam perjalanannya inflasi melonjak ke angka 5 persen.

Pemerintah sendiri memperkirakan inflasi bisa kembali ke kisaran normal pada paruh kedua 2023.