Bagikan:

JAKARTA - Ekonom dari Universitas Mercu Buana, Sugiyono Madelan Ibrahim menilai, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) dilandaskan kegentingan memaksa sekaligus sebagai tindak lanjut dari putusan mahkamah konstitusi (MK).

Sugiyono mengaku dirinya mengikuti proses pembahasan UU Ciptaker.

Menurutnya, aturan itu memang didesain untuk membantu pemerintah dalam memperbaiki kinerja di bidang ekonomi.

“Saya meyakini bahwa memang pemerintah sangat memerlukan hal itu,” ujar Sugiyono di Jakarta, Kamis, 5 Januari.

Sugiyono mengatakan, pemerintah memang membutuhkan perppu itu untuk menggerakkan roda ekonomi di tengah banyak kondisi ekonomi yang kurang bersahabat bagi pembangunan nasional.

“Itu memang kalau melihat apa yang dilakukan pemerintah, memerlukan itu (Perppu) karena dengan adanya otonomi daerah dan segala macam, tidak mudah pemerintah untuk menerapkan suatu implementasi pembangunan,” tegas Sugiyono.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengatakan Perppu Cipta Kerja yang dikeluarkan pada 30 Desember 2022 itu untuk mengantisipasi kondisi global.

“Kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi kondisi global terkait dengan krisis ekonomi dan resesi global, serta perlunya peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi,” kata Menko Airlangga.

Ketum Golkar itu menuturkan, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menjadi penting untuk mengisi kepastian hukum, dimana para pelaku usaha masih menanti keberlanjutan Undang-Undang Cipta Kerja.

“Pemerintah tengah mengatur budget defisit tahun 2023 kurang dari 3 persen dengan mengandalkan investasi yang ditargetkan mencapai Rp1.400 triliun pada tahun 2023,” katanya.

Rentan Digugat

Sementara itu, Ekonom CORE Akhmad Akbar, menilai hadirnya Perppu Ciptaker tidak benar-benar akan mendorong tumbuhnya investasi.

“Dari awal saya skeptis bahwa UU ini akan benar-benar mendorong investasi. Hambatan utama investasi kita bukan pada regulasi-regulasi,” katanya.

Akbar menyoroti proses pembentukan Perppu yang dinilainya tidak transparan dan terkesan terburu. Artinya, lanjut Akbar, kondisi yang rentan untuk digugat tersebut justru tidak memberikan kepastian hukum.

“Dan, kalau dikatakan Perppu sekarang untuk memberikan kepastian hukum, menurut saya nggak juga. Proses yang instan, tanpa mendengar pendapat dari mereka yang punya pendapat berbeda, pasti akan rentan untuk berubah,” jelasnya.