Bagikan:

JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan persetujuan plant of development (POD) Pertama Lapangan Tuna di wilayah kerja (WK) Tuna.

WK ini nantinya akan dioperasikan oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) asal Inggris, Premier Oil Tuna BV.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, persetujuan POD Pertama Lapangan Tuna menunjukkan, daya saing investasi hulu migas masih menjanjikan dan mampu menarik investor dunia.

“Meskipun lokasi Lapangan Tuna memiliki risiko tinggi, namun dengan dukungan insentif dan fleksibilitas yang diberikan Pemerintah, maka dapat meningkatkan keekonomian lapangan tuna sehingga POD Pertama Lapangan Tuna dapat direalisasikan,” ujarnya dalam keterangan resmi yang dikutip Selasa 3 Januari.

Dwi menjabarkan,perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna tediri dari investasi (di luar sunk cost) diperkirakan sebesar 1,050 miliar dolar AS, investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit sebesar 2,020 miliar dolar AS dan biaya abandonment and site restoration (ASR) sebesar 147,59 juta dolar AS.

Untuk mendorong keekonomian Lapangan Tuna yang memiliki risiko yang tinggi, lanjutnya, pemerintah memberikan juga memberikan beberapa insentif.

Dengan masa produksi diperkirakan sampai 2035, maka pemerintah akan mendapatkan gross revenue sebesar 1,24 miliar dola AS atau setara dengan Rp18,4 triliun.

Sementara itu Kontraktor gross revenue sebesar 773 juta dolar AS atau setera dengan Rp11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai 3,315 miliar dolar AS.

“Investasi Lapangan Tuna sangat besar dari sejak proyek hingga operasional sampai economic limit dengan nilai investasi mencapai 3,070 miliar dolar AS atau setara dengan Rp45,4 triliun sehingga akan turut memperkuat dan menggerakkan perekonomian nasional. Dengan TKDN hulu migas yang tinggi, yang saat ini mencapai 63 persen, maka industri nasional di pusat dan daerah akan mendapatkan manfaat besar dari investasi tersebut,” beber Dwi.

Dari sisi penerimaan negara, kata Dwi, diperkirakan pemerintah akan mendapat income hingga mencapai Rp18,4 triliun atau jauh lebih besar dibandingkan potensi penerimaan kontraktor yang sebesar Rp11,4 triliun.

“Hal ini menunjukkan pemberiaan insentif untuk meningkatkan keekonomian Lapangan Tuna tetap menempatkan kepentingan negara pada posisi yang tinggi. Bahwa negara harus mendapatkan manfaat terbesar sebagaimana amanah UUD 1945 Pasal 33”, pungkas Dwi.