Bagikan:

JAKARTA - Ketidakpastian ekonomi global, ditambah terganggunya rantai pasok dunia akibat konflik geopolitik berkepanjangan, disebut bakal menimbulkan krisis pangan. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah berulang kali mengingatkan mengenai krisis pangan.

Pada awal Desember lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan para menterinya membuat perhitungan teliti untuk menghadapi kondisi perekonomian pada 2023 sehingga krisis ekonomi maupun krisis pangan tidak sampai menjadi masalah sosial.

“Mengenai kondisi perekonomian tahun 2023. Sekali lagi, kita harus tetap hati-hati dan waspada, yang berkaitan dengan krisis keuangan, ekspor yang menurun, kemungkinan ekspor menurun, kemudian krisis pangan hati-hati mengenai karena bisa larinya masalah sosial dan politik,” kata Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta.

Jauh sebelum itu, Jokowi juga menyebutkan bahwa saat ini dunia dalam kondisi yang mengerikan karena pertumbuhan ekonomi yang melemah, namun inflasi juga meningkat sehingga membuat harga sejumlah komoditas naik.

Presiden Jokowi menyampaikan hal tersebut saat membuka Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) Tahun 2022 pada Agustus lalu.

“Pertumbuhan ekonomi turun tapi inflasi naik, harga-harga barang semua naik. Ini kondisi yang sangat boleh saya sampaikan dunia pada kondisi yang mengerikan,” kata Presiden Jokowi.

Jokowi menekankan saat ini ada 320 juta orang di dunia yang menderita kelaparan akut dan sebagian besar kelaparan karena perekonomian tidak hanya turun, tetapi juga anjlok.

Lalu bagaimana prospek investasi di sektor pertanian di tengah ancaman krisis pangan?

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, investasi sektor pertanian tahun depan masih tetap menjanjikan. Kata Bhima, hal ini didorong dengan pemulihan pergerakan masyarakat.

“Prospek sektor pertanian masih positif didorong oleh pemulihan pergerakan masyarakat pascapandemi sehingga uang yang dibelanjakan untuk pangan meningkat,” katanya kepada VOI, Jumat, 30 Desember.

Apalagi, sambung Bhima, Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang besar. Tentunya, kata Bhima, jumlah stok pangan yang dibutuhkan tidak sedikit.

“Disaat yang bersamaan Indonesia punya 190 juta penduduk usia produktif yang membutuhkan stok pangan dalam jumlah besar. Meski tahun ini diwarnai peningkatan investasi pertanian karena booming harga komoditas sawit, tahun depan mulai tersebar jenis tanaman yang menarik minat investor,” tuturnya.

Bhima mengatakan investasi di sektor pertanian tidak hanya pada segmen hulu saja. Menurut dia, yang lebih dibutuhkan justru pada segmen research and development atau R&D pertanian dan rantai distribusinya.

“Masuk investasi di distribusi pangan itu juga menjanjikan. Karena margin keuntungan distribusi di Indonesia itu sangat tinggi sekali,” ucapnya.

Meski prospeknya cukup cerah, kata Bhima, ada beberapa tantangan yang dihadapi untuk investasi di sektor pertanian. Salah satunya adalah rendahnya inovasi.

“Tapi yang jadi tantangan adalah masih rendahnya inovasi pertanian, terbatasnya pembiayaan perbankan, regenerasi petani, biaya pupuk dan logistik naik, serta anomali cuaca,” katanya.