Ironi Indonesia sebagai Negara Agraris, Sektor Pertanian Tak Dilirik Generasi Z
Perkebunan terasering di Sukomakmur, Magelang, Jawa Tengah. (VOA)

Bagikan:

JAKARTA – Indonesia memiliki sebutan sebagai negara agraris, tapi terancam krisis pangan karena produksi pangannya rendah. Ini terjadi lantaran jumlah petani yang menurun dari tahun ke tahun.

Ironis memang, ketika sebuah negara agraris seperti Indonesia yang memiliki tanah luas, tapi dibayang-bayangi krisis pangan, yang salah satu penyebabnya adalah karena SDM pertaniannya yang tidak memadai.

Sejak World Food Summit pertama pada tahun 1996 di Roma, para petani telah menyampaikan bahwa hanya dengan diwujudkannya kedaulatan pangan lah dunia mampu untuk menghapuskan kelaparan sekaligus menghapuskan kemiskinan di pedesaan.

Bagaimana mungkin mencapai kedaulatan pangan jika jumlah petaninya saja makin tergerus?

Bukan Sektor Menarik

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 pada 4 Desember. Dari hasil tersebut, menunjukkan jumlah petani di Indonesia sebanyak 29,36 juta unit pertanian. Jumlah ini turun 7,42 persen jika dibandingkan hasil ST 2013 yang mencapai 31,72 juta unit usaha.

Hasil ST 2023 juga menjelaskan bahwa dari sisi sebaran petani berdasarkan usia, terungkap jumlah petani dengan rentang usia 55 - 64 tahun justru meningkat menjadi 23,20 persen dari 20,01 persen. Kemudian usia di atas 64 tahun jumlahnya naik dari 12,75 persen menjadi 16,15 persen.

Sedangkan petani milenial di Indonesia ada 6,18 juta orang. Angka tersebut sekitar 21,93% dari total petani di Indonesia sebanyak 28,19 juta orang.

Sedikitnya jumlah petani usia muda, generasi milenial dan Z, diyakini berkorelasi terhadap produktivitas pertanian di Indonesia yang stagnan bahkan cenderung menurun. Padahal, menurut pengamat pertanian Khudori, generasi milenial dan Z diharapkan menjadi bagian dari solusi aging farmers.

Gunungkidul lumbung pangan di DIY. (Antara/HO-Humas Pemkab Gunungkidul)

“Ini merupakan lampu kuning dan penanda bahwa sektor pertanian tidak menarik bagi mereka. Ekosistem pertanian belum sepenuhnya ramah buat mereka,” ujar Khudori kepada VOI.

“Jika Indonesia gagal mengatasi ini, ke depannya petani-petani yang ada akan semakin tua dan kurang adaptif terhadap teknologi, inovasi, dan perubahan,” Khudori menambahkan.

Berdasarkan jajak pendapat Jakpat, hanya 6 dari 100 generasi Z berusia 15-26 tahun yang ingin bekerja di bidang pertanian. Beragam alasan diungkapkan anak muda, utamanya dari generasi Z, perihal alasan mereka tak tertarik pada sektor pertanian.

Menurut survei terebut, tidak adanya pengembangan karier di bidang pertandingan menjadi alasan utama mengapa generasi Z ogah bertani. Alasan lainnya adalah karena sektor pertanian memiliki risiko yang cukup besar, pendapatan kecil, perasaan tidak dihargai, dan dianggap bukan sebagai pekerjaan yang menjanjikan.

Jika tak dibenahi, bukan tidak mungkin Indonesia makin kekurangan petani muda. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bahkan memperkirakan pada 2063 tak ada lagi profesi petani. Bappenas mencatat pada tahun 1976 proporsi pekerja Indonesia di sektor pertanian mencapai 65,8 persen. Namun, di 2019 turun signifikan menjadi hanya 28 persen.

Regenerasi Sangat Penting

Cukup pelik memang, di tengah kebutuhan pangan yang meningkat akibat meningkatnya populasi, SDM yang ‘memberi makan’ sekitar 275 juta penduduk di Indonesia justru terus krisis regenerasi. 

Tapi, kita juga tak bisa menyalahkan generasi muda yang tak melirik sektor pertanian. Karena kenyataannya, walau kerap dipandang sebelah mata, usaha di bidang pertanian membutuhkan modal yang besar, sementara hasilnya bisa dibilang tak menentu. Tergantung pada berbagai faktor, salah satunya cuaca.

Rendahnya minat pemuda bekerja di sektor pertanian membuat Indonesia harus berada di urutan keenam negara dengan proporsi tenaga kerja pertanian tertinggi di Asia Tenggara. Menurut data ASEAN Statistics Division, proporsi tenaga kerja pertanian di Indonesia hanya sebesar 29,8 persen pada 2020.

Angka tersebut masih kalah jauh dari Myanmar yang menempati posisi teratas dengan 48,9 persen, lalu diikuti Laos (45,4 persen), Vietnam (35,4 persen), Thailand (35 persen), dan Kamboja (32,1 persen).

Menurut Said Abdullah, Kooridinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulan Pangan (KRKP), penyebab masalah regenerasi petani adalah kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan sektor non-pertanian. Contoh yang mudah dilihat adalah bagaimana pemerintah mendorong investasi, namun kebanyakan mengarah ke sektor manufaktur, pendirian pabrik-pabrik seperti yang terjadi di Karawang sampai Bekasi.

Petani mengoperasikan mesin pemotong padi saat panen raya petani milenial di areal persawahan Desa Gembongan, Banyusari, Karawang, Jawa Barat, Senin (15/11/2021). (Antara/M Ibnu Chazar/foc)

Padahal, Karawang bersama Indramayu dan Subang termasuk penghasil beras terbesar di Jawa Barat. Tapi dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan masifnya pembangunan pabrik di Karawang, anak-anak muda di daerah tersebut mulai meninggalkan sektor pertanian dan beralih menjadi pekerja di pabrik karena dianggap lebih menjanjikan.

Regenerasi petani dinilai sangat penting untuk dilakukan melihat besarnya dampak untuk ketahanan pangan. Regenerasi petani perlu dilakukan karena melihat data banyaknya petani usia tua justru bisa mengakibatkan penurunan kinerja dalam bidang pertanian.

Karena itulah, Khudori berharap siapa pun presiden yang akan terpilih pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 peka terhadap hasil Survei Pertanian 2023 ini supaya menjadikan sektor pertanian lebih ramah terhadap generasi muda.

“Indonesia tidak mungkin menumpukan masa depannya pada petani-petani yang sudah sepuh dan di ujung usia produktif ini,” tutur Khudori.

“Harus ada upaya ekstra keras untuk membuat sektor pertanian menarik dg menciptakan ekosistem yg ramah buat generasi milenial. Dan ini tidak mudah,” Khudori menyudahi.

Pentingnya regenerasi petani juga diungkapkan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara demi masa depan pertanian, khususnya di provinsi beribu kota Medan ini.

Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumatera Utara (Sumut) Muhammad Juwaini. (Antara/HO-Dokumentasi Pribadi)

Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan, dan Holtikultura Sumut, Muhammad Juwaini mengatakan pihaknya terus melakukan berbagaicara untuk meyakinkan anak muda tertarik menggantikan petani berusia di atas 50 tahun.

Tapi ia tak menampik sejumlah tantangan yang dihadapi, salah satunya kesan bahwa pekerjaan petani tidak mentereng.

“Memang tidak mudah. Kami perlu memberikan wawasan dan pandangan kepada generasi muda bahwa petani itu bukan hal yang rendah. Sebab, di sektor pertanian juga dapat menghasilkan pendapatan yang besar jika dilakukan dengan optimal,” kata Juwaini.