JAKARTA - Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menilai Kredit Usaha Rakyat (KUR) klaster merupakan solusi terbaik untuk mendorong UMKM naik kelas.
“KUR klaster yang digagas oleh Presiden adalah solusi terbaik untuk menjawab tantangan yang ada. Jawaban atas tantangan untuk menaikkan kelas UMKM dan jawaban atas tantangan untuk meningkatkan kesejahteraan para pelaku ekonomi penopang signifikan PDB Indonesia,” katanya dalam keterangan dikutip Antara, Kamis 22 Desember.
Ajib menyebut sebagai sektor yang menopang lebih dari 61,97 persen PDB nasional, UMKM mempunyai paling tidak empat masalah mendasar mulai dari literasi keuangan yang rendah hingga kualitas SDM dan teknologi.
“Pemahaman para pelaku ekonomi sektor ini cenderung belum mengerti tentang laporan keuangan, pentingnya pencatatan dan administrasi, serta sistem manajemen keuangan,” katanya.
Permasalahan kedua adalah belum terbangunnya ekosistem bisnis dari hulu ke hilir. Menurut Ajib, inilah yang menyebabkan UMKM sulit untuk bertahan dan tidak mendapatkan nilai tambah yang maksimal.
Masalah yang ketiga yaitu tidak atau kurangnya jaminan yang dibutuhkan ketika membutuhkan pinjaman. Sedangkan permasalahan keempat adalah rendahnya produktivitas dikarenakan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan kekurangan teknologi.
Namun, Ajib mengatakan dengan keterbatasan yang ada, UMKM tetap bisa berjalan dan terus tumbuh, baik dari sisi jumlah pelakunya maupun diversifikasi usahanya.
“Hal ini menunjukkan UMKM sebenarnya sangat feasible, tetapi banyak yang belum bankable. Indikasi UMKM ini feasible, misalnya masih banyaknya pelaku usaha yang mendapatkan pola pembiayaan konvensional, meminjam dari rentenir, atau yang pinjam melalui pinjaman online (pinjol) dengan bunga yang sangat tinggi, tetapi usahanya masih berjalan dengan baik. Indikator seperti ini menunjukkan, bahkan dengan cost of fund yang tinggi, UMKM masih tetap bisa berjalan,” tuturnya.
BACA JUGA:
Selanjutnya, Ajib berharap implementasi KUR klaster bisa berjalan dengan baik didukung industri keuangan sebagai penyalur serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas.
Ia mengakui industri keuangan memang cenderung kurang berpihak kepada pelaku UMKM berdasarkan indikator rasio kredit yang masih dalam kisaran 20 persen untuk UMKM dari total kredit yang mengalir, dengan kisaran Rp1.200 triliun.
Idealnya, porsi UMKM bisa lebih ditingkatkan mencapai 30 persen atau kisaran Rp1.800 triliun.
“Tetapi ini memang kondisi yang tidak mudah, karena industri keuangan, terutama perbankan, adalah industri yang high regulated dan harus prudent (hati-hati) dalam menyalurkan kredit. Di sisi lain, salah satu permasalahan mendasar UMKM adalah literasi keuangan yang cenderung masih rendah,” katanya.
Sementara itu, lantaran UMKM tidak akan bisa tumbuh secara alamiah dan bersaing dengan industri besar, maka dibutuhkan intervensi regulasi agar UMKM tetap bisa mempunyai akses maksimal dalam konteks mendapatkan kredit.
“OJK mempunyai peran yang sangat sentral dalam hal ini. KUR klaster membutuhkan panduan teknis dalam bentuk aturan yang dikeluarkan oleh OJK, sehingga perbankan mempunyai dasar yang kuat dan terukur dalam teknis penyaluran,” katanya.
Ajib berharap, program KUR klaster bisa terlaksana dengan optimal dan menjadi instrumen efektif untuk mendongkrak UMKM naik kelas.
“Jangan sampai program ini hanya menjadi program hiasan, bagus dalam konsep tapi kurang optimal dalam dukungan pelaksanaan,” kata Ajib.