JAKARTA - Pengamat kebijakan publik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Slamet Rosyadi menilai pemerintah perlu bekerja lebih keras lagi untuk mendorong kemajuan bisnis startup atau usaha rintisan.
"Mindset pemerintah harus disamakan frekuensinya dengan kepentingan start up," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dikutip dari Antara, Sabtu 29 Oktober.
Koordinator Program Studi S2 Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu mengakui saat ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang memberikan kemudahan bagi pelaku usaha rintisan maupun UMKM dalam mengakses permodalan.
Ia mengatakan kemudahan dalam akses permodalan merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi pengembangan usaha rintisan maupun UMKM.
Menurut dia, hal itu disebabkan salah satu kendala dalam pengembangan UMKM adalah minimnya kesempatan untuk mendapatkan akses modal dengan persyaratan yang ringan dan beban angsuran yang fleksibel.
"Secara kebijakan publik, pemberian akses modal kepada pelaku usaha rintisan pasti ada risikonya karena namanya usaha pasti tidak otomatis akan sukses secara instan," katanya.
Akan tetapi, kata dia, dari semua itu yang terpenting adalah pendampingan bagi para pelaku UMKM khususnya usaha rintisan.
Lebih lanjut, Slamet mengatakan bisnis usaha rintisan memerlukan model pendampingan yang terintegrasi.
"Tidak hanya akses modal tetapi juga akses pasar, sehingga produk rintisan dapat menjangkau konsumen. Pemerintah atau pemangku kepentingan perlu menjembatani startup dengan pasar," katanya.
Ia pun memaparkan hasil kajiannya terkait dengan pendampingan yang dilakukan para pemangku kepentingan terhadap UMKM. Dalam kajian tersebut diketahui bahwa pendekatan pendampingan belum dilaksanakan dengan baik secara terpadu, baik dari sisi konten maupun keterlibatan aktor lain sebagai pendamping.
BACA JUGA:
Selain itu peran pendamping sebagian besar dilakukan oleh konsultan yang kapasitas sosialnya belum dikenal dengan baik oleh para pelaku UMKM, serta kurangnya keterlibatan pemangku kepentingan yang lebih luas dalam model pendampingan, sumber daya yang dapat ditransfer ke UMKM, dan menambahkan jaringan sosial untuk UKM.
"Oleh karena itu, model pendampingan terpadu dimaknai sebagai kolaborasi multi-stakeholder untuk menggabungkan pengalaman dan keahlian mereka guna membantu menyelesaikan masalah UMKM," katanya.
Dalam konteks ekonomi kreatif, kata dia, kolaborasi multi-stakeholder meliputi akademisi, bisnis, pemerintah, komunitas, dan media atau Penta Helix.
"Berbagai pemangku kepentingan ini dapat memfasilitasi aliran sumber daya ke UMKM seperti pengetahuan dan teknologi terkini, dukungan sosial dan media, semangat kewirausahaan, kebijakan pro-bisnis, kemitraan, dan informasi pasar," kata Slamet.