Soal Pendanaan Sebagai Tantangan Ekonomi Hijau, Indonesia Perlu Cari Investor yang Tepat
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Tim Kolaborasi Riset Laboratorium Indonesia 45 (LAB 45) dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indah Lestari mengungkapkan, transisi ekonomi hijau di Tanah Air memiliki berbagai tantangan. Salah satunya soal pendanaan.

Tantangan tersebut ada pada alokasi pendanaan ekonomi hijau yang masih bersaing dengan isu ekonomi lainnya, masih lemahnya kepercayaan publik terhadap instrumen-instrumen pembiayaan energi hijau terbarukan, serta keterbatasan transparansi pendanaan hijau dan kapasitas sumber daya manusia (SDM).

“Berdasarkan catatan kami, terdapat kesulitan terkait dengan kejelasan bagi investor pihak mana yang tepat untuk pendanaan tertentu, kemudian bagaimana proses penjaminan pembiayaan energi terbarukan yang tampaknya masih berisiko tinggi," kata Indah dalam Webinar LAB 45 bertajuk Ancaman Resesi Global: Transisi Ekonomi Hijau di Persimpangan Jalan, seperti dikutip Antara, Selasa 25 Oktober.

Selain pendanaan, dirinya menuturkan tantangan lainnya dalam transisi ekonomi hijau di Indonesia adalah dari sisi regulasi dan kelembagaan. Terkait regulasi, hasil riset merekomendasikan pemerintah untuk segera memformulasikan regulasi lengkap untuk mengakselerasi pelaksanaan dan pemanfaatan ekonomi hijau.

Sementara dari sisi kelembagaan, tim peneliti mengusulkan pembentukan satuan tugas (Satgas) terkait ekonomi hijau. Satgas ini dapat berperan sebagai koordinator lintas kementerian/lembaga.

“Harapannya ada lembaga permanen yang fokus mengkoordinasikan persoalan ekonomi hijau,” ujarnya.

Sementara itu, Koordinator Penyiapan Program Konservasi Energi (PPKE) Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Qatro Romandhi menambahkan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menuju transisi energi.

“Kementerian ESDM memiliki beberapa strategi implementasi dalam mengurangi pemanfaatan energi fosil dan perencanaan energi baru terbarukan (EBT) jangka panjang,” tutur Qatro.