JAKARTA - Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan ada empat (4) tantangan yang dihadapi Indonesia dalam perkembangan pembiayaan hijau di tengah tahun politik.
Pertama, adanya perbedaan model teknologi yang dimiliki ketiga calon presiden (capres) dalam visi misi mereka untuk berkomitmen melakukan pembiayaan energi.
"ada (paslon) yang menggunakan solar panel, biomassa, geothermal, bahkan ada yang memiliki komitmen terhadap industri nuklir, sehingga belum jelasnya arah (transisi energi) sampai lima tahun ke depan," kata Bhima kepada wartawan di Jakarta, dikutip Rabu, 20 Desember.
Bhima menyebut, hal ini menyebabkan para investor mempertimbangkan faktor risiko yang akan dihadapi.
"Kalau dia (para investor) punya pembiayaan untuk geothermal, tiba-tiba yang diimplementasikan solar panel itu ada risiko kredit macet," ujarnya.
Tantangan kedua adalah, soal taksonomi hijau yang masih belum mencapai final. Hal ini diketahui lantaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum selesai melakukan revisi terkait proyek gasifikasi atau mengkonversi batu bara menjadi bahan bakar gas.
"Apakah akan dipaksa dimasukan dalam kuning atau hijau. Jadi, belum ada konfirmasi juga yang membuat (investor) internasional dan domestik bingung," ucap Bhima.
Adapun Taksonomi Hijau Indonesia adalah klasifikasi kegiatan ekonomi berdasarkan penilaian atas aktivitas bisnis sektor usaha, apakah memenuhi standar perlindungan lingkungan dan tata kelola yang baik atau sebaliknya.
Ketiga, Bhima menilai tantangan tersebut soal kebijakan moneter Indonesia belum ada yang mendukung rasio intermediasi makroprudensial. Misalnya, belum terdapat cap credit minimum ke sektor hijau.
BACA JUGA:
Cap credit sendiri merupakan batasan suku bunga kredit dengan suku bunga variabel. Ini adalah tingkat bunga tertinggi yang harus dibayar oleh peminjam dan juga tingkat bunga tertinggi yang diperoleh kreditur.
Nantinya, ketentuan batasan suku bunga akan dituangkan dalam kontrak pinjaman atau prospektus investasi.
Untuk tantangan keempat adalah soal pembiayaan ke sektor energi terbarukan kepada masyarakat yang dinilai masih minim. Hal ini disebabkan lantaran Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang masih memonopoli pembiayaan transisi energi.
"Makanya masih kecil sekali porsi pembiayaan transisi energi yang berbasis komunitas. Padahal, Kredit Usaha Rakyat (KUR) harusnya bisa masuk ke situ. Namun, khawatir kebijakan dari ketanagalistrikan kami belum mengakomodir," imbuhnya.