Bagikan:

JAKARTA – Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dolar AS, mendapat tanggapan dari Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo.

Dalam pernyataannya, Perry menyebut jika tertekannya alat tukar RI itu tidak lepas dari fenomena yang terjadi di seluruh dunia.

Menurut dia, tidak hanya Indonesia yang mengalami pelemahan mata uang tetapi juga pada sejumlah negara, utamanya emerging countries.

“Nilai tukar dolar sekarang sangat-sangat kuat, karena memang di Amerika terjadi pemulihan ekonomi yang lebih cepat. Kemudian inflasi juga tinggi membuat fed fund rate (suku bunga acuan AS) naik tinggi,” ujarnya disela-sela agenda resmi G20 di Washington DC pada Rabu, 12 Oktober waktu setempat.

Perry mencatat, Indeks Dolar AS (DXY) kini berada pada level 113. Besaran itu menunjukan penguatan sekitar 18 sampai dengan 19 persen pada sepanjang tahun ini.

“Dibandingkan dengan pertengahan 2021, indeks dolar kala itu hanya sekitar 89 hingga 90. Artinya, ada penguatan dolar sekitar 25 persen,” tegas dia.

Perry menambahkan, bank sentral mendapati bahwa nilai tukar rupiah pada 2022 melemah dalam kisaran 6 persen.

“Tapi lihat negara-negara berkembang lain itu mengalami pelemahan atau depresiasi yang lebih dalam. Tentu saja ini merupakan salah satu bentuk stabilitas yang kita capai,” tuturnya.

Sebagai pembanding, BI sempat merilis data hingga 21 September 2022 tekanan terhadap nilai tukar mata uang negara sahabat diketahui lebih dalam, seperti India yang terdepresiasi sebesar 7,05 persen, Malaysia 8,51 persen dan Thailand 10,07 persen.

Terpisah, pengamat pasar modal Teguh Hidayat mengatakan Indonesia termasuk beruntung karena mampu menjaga perekonomian berkat revenue dari komoditas ekspor.

“Kita eksportir batubara. Di Indonesia kita diuntungkan nilai ekspor, neraca perdagangan surplus, alhasil pertumbuhan ekonomi kuat dan rupiah kuat terhadap dolar AS," ucap Teguh.