JAKARTA - Ombudsman RI melakukan inspeksi mendadak (sidak) di Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok dan Terminal Peti Kemas Koja Pelabuhan Tanjung Priok. Sidak ini dilakukan menyusul adanya laporan tertahannya produk impor hortikultura sebanyak 1,4 juta ton.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengatakan bahwa 1,4 juta ton produk impor hortikultura ini tertahan di tiga pelabuhan yakni Pelabuhan Tanjung Priok Tanjung Perak dan Belawan sejak pekan lalu.
"Ombudsman melakukan sidak untuk memastikan aduan Pelapor. Sejak pekan lalu sampai sekarang total sudah ada 400 kontainer produk impor hortikultura yang tertahan di tiga pelabuhan," ujar Yeka di sela-sela sidak, dikutip Selasa, 20 September.
Produk impor hortikultura yang tertahan di antaranya anggur, lemon, kelengkeng, jeruk hingga cabe kering. Yeka menyebutkan nilai produk mencapai Rp30 miliar.
Lebih lanjut, Yeka mengatakan tertahannya produk impor hortikultura tersebut imbas dari ketidakharmonisan regulasi antara dua kementerian ini mengakibatkan kerugian bagi importir untuk biaya penumpukan dan listrik.
Yeka menekankan bahwa barang-barang yang tertahan tersebut semuanya legal. Hanya saja tidak lengkap dokumennya, tidak ada RIPH. Ombudsman menilai kesalahan ini tidak mutlak dari sisi importir.
"Yang menanggung kerugian tentu perusahaan importir. Ini akibat lemahnya pemerintah dalam mengkoordinasikan dan mengundangkan regulasi. Apabila pembentukan regulasi melihat sisi pelayanan publik, hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi," kata Yeka.
Untuk itu, Yeka mengungkapkan Ombudsman akan melakukan uji prosedur terhadap RIPH ini. Baik dari sisi dasar hukum, proses penyusunan hingga bagaimana proses regulasi diundangkan. Apakah sudah memenuhi tahapan sosialisasi, misalnya.
"Kita akan uji kaidah regulasi terkait RIPH ini. Dianalisis berdasarkan 14 komponen dasar pelayanan publik sesuai Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik," ucapnya.
Yeka menambahkan, sebenarnya ada tawaran solusi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kerugian para importir, yakni dengan memberlakukan pemeriksaan di post border. Jika tidak dilengkapi dengan RIPH, maka barang harus disimpan di gudang pelaku usaha.
Pelaku usaha dapat membuat surat pernyataan akan melengkapi dokumen RIPH dan tidak akan mendistribusikannya sampai RIPH terbit. Hal tersebut dapat menghemat miliaran rupiah dari biaya yang muncul akibat tertahan di pelabuhan setempat.
BACA JUGA:
Untuk itu, Ombudsman berharap ada solusi cepat dari Menteri Pertanian mengenai dampak dari Permentan Nomor 5 Tahun 2022.
"Kami sudah melakukan proses klarifikasi dan pemeriksaan mudah-mudahan dalam waktu dekat, kita bisa sampaikan tindakan korektif untuk menyelesaikan laporan masyarakat ini dan juga agar tidak terulang lagi di masa yang akan datang," kata Yeka.
Sementara itu, Kunjungan sidak diterima oleh Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Hasrul. Dalam kunjungan tersebut Hasrul menjelaskan bahwa informasi terkait dengan diberlakukannya (kembali) RIPH untuk produk impor hortikultura diterimanya pada tanggal 12 Agustus 2022.
"Setelah menerima pemberitahuan dari Kementan, kami tunggu sampai tiga hari, setelah tiga hari sejak pemberitahuan tersebut, kami tidak menerima rekomendasi dari Kementan, sehingga barang yang sudah terlanjur masuk, tetap kami izinkan keluar (pelabuhan) sampai dengan tanggal 2 September 2022," kata Hasrul.
Sebelumnya, Ombudsman menerima laporan dari enam perusahaan importir yang produknya ditahan oleh Balai Karantina Pertanian setempat. Berdasarkan keterangan pelapor, produk impor tersebut telah mengantongi Surat Persetujuan Impor (SPI) yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan.
Namun setelah sampai di Pelabuhan Belawan, Tanjung Perak, dan Tanjung Priok, produk impor tersebut ditahan oleh Badai Karantina Pertanian setempat dikarenakan belum adanya dokumen Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 5 Tahun 2022 Tentang Pengawasan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura.