Bagikan:

JAKARTA – Dunia diyakini bakal kehilangan 10 persen nilai ekonomi apabila kesepakatan Paris Agreement untuk target net zero emissions 2050 tidak terlaksana secara komprehensif. Demikian yang disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengutip studi yang dilakukan oleh lembaga nirlaba Swiss Re Institute pada 2021.

“Ini juga menambah tekanan inflasi akibat disrupsi suplai internasional yang terjadi sekarang,” ujarnya ketika menjadi keynote speaker dalam forum HSBC Summit 2022 pada Rabu, 14 September.

Menurut Menkeu, situasi yang berkembang nanti sangat mungkin memicu masalah keuangan, penurunan kesejahteraan, dan pembentukan produk domestik bruto (PDB) yang rendah.

“Isu lingkungan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan dunia karena bisa mengancam pertumbuhan serta pembangunan ekonomi. Kita lihat, emisi gas yang meningkat, temperatur yang semakin panas, hingga kenaikan permukaan laut mengindikasikan bahwa isu ini perlu ditangani secara cepat,” tuturnya.

Menkeu menambahkan, dengan berbagai dampak tersebut jelas Indonesia bisa ikut terkena imbas.

“Kami menghitung bahwa perubahan iklim membuat Indonesia kehilangan potensi ekonomi sekitar 0,62 persen hingga 3,45 persen dari PDB pada 2030 mendatang,” tegas dia.

Sebagai informasi, Indonesia sendiri telah meratifikasi Paris Agreement dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change, dan diundangkan pada 25 Oktober 2016.

Pengesahan ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memberikan jaminan kepada setiap warga negara. untuk mendapatkan lingkungan hidup yang berkualitas.

Dalam catatan VOI, pemerintah mengklaim bahwa Indonesia membutuhkan setidaknya 365 miliar dolar AS untuk mencapai penurunan karbon 29 persen.

Sementara untuk target 41 persen diyakini bakal menghabiskan dana tidak kurang dari 495 miliar dolar AS.