Dampak Invasi Rusia ke Ukraina, Indef: Pemulihan Ekonomi Global dan Indonesia Diprediksi Melambat
Ilustrasi/antara

Bagikan:

JAKARTA - Perang Rusia dan Ukraina dipastikan akan berdampak pada pemulihan ekonomi dunia pascapandemi COVID-19. Indonesia sebagai produsen komoditas dunia juga akan terpengaruh dari perlambatan perekonomian global tersebut.

Peneliti Indef, Eisha M Rachbini mengungkapkan terdapat beberapa dampak dari invasi Rusia terhadap Ukraina, khususnya terhadap ekonomi global. Pertama, pemulihan ekonomi dunia postcovid, dengan ancaman inflasi.

Menurut Eisha, ancaman inflasi tersebut saat ini sudah terlihat di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat. Bahkan, terasa sampai ke Indonesia. Ia juga mengatakan bahwa invasi Rusia ke Ukraina juga membuat kenaikan harga komoditas dunia.

"Jika perang berlanjut, pemulihan ekonomi global juga terancam akan lebih rendah dari prediksi awal," katanya dalam diskusi Indef 'Dampak Ekonomi Perang Rusia-Ukraina', dikutip Minggu, 27 Februari.

Menurut Eisha, pertumbuhan ekonomi global diprediksi berada pada level 4,4 persen di 2022 dan 3,8 persen pada 2023. Untuk negara maju 3,9 persen di 2022 dan 2,6 persen pada 2023. Sementara, negara berkembang 4,8 persen di 2022, dimana sebelumnya pada 2021 pertumbuhan ekonomi berada diangka 4,7 persen.

"Kemudian ASEAN dimulai 5 hingga 5,6 persen di 2022 dan 6 persen di 2023. Sementara Indonesia 5,6 persen di 2022 dan 6 persen di 2023," tuturnya.

Sedangkan terkait dengan harga komoditas dunia pada 2022 telah mengalami kenaikan. Sebab, Rusia adalah salah satu produsen dunia minyak bumi dan industri pertambangan seperti nikel, alumunium dan palladium.

"Rusia dan Ukraina adalah eksporter utama gandum. Rusia juga produsen kalium karbonat (potash) bahan baku pupuk. Risiko perang akan dapat berdampak pada kenaikan harga minyak bumi yang diperkirakan meningkat mencapai lebih dari 100 dolar per barrel untuk harga brent oil per 24 Februari 2022," ucapnya.

Menurut Eisha, harga bahan bakar minyak meningkat di Amerika Serikat dan Eropa sebesar 30 persen. Jika konflik berkepanjangan, akan berdampak terhadap global supply chain.

"Supply chain saat ini telah mengalami hambatan logistik akibat COVID-19 yang memicu kenaikan harga komoditas. Jika supply komoditas dan logistik pengiriman terhambat, serta infrastruktur utama, seperti Pelabuhan di area Black Sea rusak akibat perang, maka negara maju dapat memberikan sanksi banned atas komoditas Rusia," tuturnya.

Eisha mengatakan hal itu pasti akan memperburuk harga komoditas. Karena global supply rendah, dengan mengecualikan komoditas sumber daya alam Rusia.

Tak hanya itu, kata Eisha, dampak akan menjalar ke pasar finansial. Terkait sanksi yang diberikan AS terhadap pemain pasar keuangan dan tech companies Rusia.

"This is a serious economic impact to Russia, but not fatal, as Russia might be possible to get help from China (finance and trade relationship). Harga komoditas meningkat, inflasi, situasi ekonomi global akan merubah skenario the Fed to increase interest rate," jelasnya.

Sementara dampak terhadap Indonesia, Eisha mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terpengaruh perekonomian global dan memperlambat pemulihan ekonomi.

"Pertumbuhan ekonomi global yang melambat akan ikut memperlambat pemulihan ekonomi emerging market, seperti Indonesia," tuturnya.

Dimana financial market domestik pada nilai tukar, IHSG inflasi tinggi akibat commodity shock, akan mendorong The Fed menaikkan suku bunga. Inflasi AS berada diangka 7,5 persen pada Januari 2022. Dimana angka tersebut tertinggi dalam 40 tahun. Termasuk safe havens currencies seperti US dan JPY.

"Berdampak ke depresiasi nilai tukar rupiah, potensi capital outflow, balance of payment (BoP). Di pasar keuangan, juga dapat terdampak pada penyaluran kredit, dan kinerja korporasi," katanya.