Harga Pertalite Tak Perlu Naik, Ekonom Sarankan Pemerintah Gunakan Surplus APBN untuk Tambal Subsidi
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira . (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan harga BBM jenis subsidi terutama Pertalite harus benar-benar dicermati oleh pemerintah. Alih-alih menaikkan Pertalite, Bhima justru menyarankan pemerintah menggunakan surplus APBN untuk tambal subsidi energi.

Bhima menjelaskan di tengah tingginya harga minyak dunia, pemerintah sebetulnya sedang menikmati surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dari penjualan komoditas.

Sepanjang Januari ke Juli 2022, serapan subsidi energi baru Rp88,7 triliun berdasarkan data APBN Kita. Sementara APBN sedang surplus Rp106,1 triliun atau 0,57 persen dari PDB di periode Juli.

"Artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk dorong penerimaan negara. Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi?" katanya dihubungi VOI, Senin, 29 Agustus.

"Jangan ada indikasi, pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak urgen dan korbankan subsidi energi," sambungnya.

Sebagai solusi, menurut Bhima, pemerintah bisa lakukan revisi aturan untuk hentikan kebocoran solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar.

"Dengan tutup kebocoran solar, bisa hemat pengeluaran subsidi karena 93 persen konsumsi solar adalah jenis subsidi. Atur dulu kebocoran solar subsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit, daripada melakukan kenaikan harga dan pembatasan untuk jenis Pertalite," jelasnya.

Bhima mengatakan jika pemerintah menaikkan harga BBM subsidi, masyarakat kelas menengah rentan juga akan terdampak. Sebelumnya mereka masih mampu untuk membeli BBM jenis Pertamax, namun kenaikan harga Pertamax membuat mereka beralih ke Pertalite.

"Kalau harga Pertalite juga ikut naik maka kelas menengah akan korbankan belanja lain. Yang tadinya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli bensin. Imbasnya apa? Permintaan industri manufaktur bisa terpukul," ujarnya.

Bahkan, kata Bhima, serapan tenaga kerja juga bisa terganggu. "Dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar," katanya.