Efektifkah Pembatasan BBM Bersubsidi? Begini Jawaban Pakar
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Pemerintah berencana melakukan pembatasan BBM bersubsidi, seperti Pertalite dan Solar, mengingat Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN) Indonesia sudah tak mampu lagi menopang subsidi energi termasuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun ini.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kuota BBM bersubsidi yang ditargetkan dalam APBN tahun ini, diprakirakan bakal habis ada bulan Oktober.

“Kalau kita asumsikan volume konsumsi (BBM-red) mengikuti selama delapan bulan terakhir, kuota akan habis di bulan Oktober, kalau konsumsinya tetap sama,” kata Sri Mulyani pada Jumat, 26 Agustus 2022, dikutip dari Antara.

Bersamaan dengan itu, sambung Sri Mulyani, kompensasi energi yang mencapai Rp502 triliun pada tahun ini juga akan habis pada Oktober 2022.

“Yang terjadi sekarang, dengan pemulihan ekonomi, konsumsi dan subsidi yang masih tinggi, konsumsi solar dan pertalite diperkirakan jauh melampaui apa yang ada di APBN,” ucap Sri Mulyani.

Selain pembatasan BBM Subsidi, opsi lain untuk mengurangi beban APBN akibat subsisi energi adalah menaikkan harga pertalit dan solar.

Lantas, Efektifkah Pembatasan BBM Bersubsidi?

Melansir VOI, Menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB) UI, Teguh Dartanto, pemberian subsidi BBM perlu dievaluasi. Pasalnya, hal tersebut bisa mengurangi beban fiskal.

"Evaluasi subsidi BBM menurut saya layak dilakukan karena bisa mengurangi beban fiskal," kata Teguh, Senin 29 Agustus.

Teguh menilai dampak inflasi sudah cukup memberatkan masyarakat meski BBM belum naik. Hal itu terlihat dari kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok di pasaran.

"Artinya, dari sisi perlindungan sosial atau bantalan sosial, walaupun belum ada evaluasi harga BBM, harga kebutuhan pokok sudah naik," ujarnya.

Teguh tidak memungkiri akan ada dampak negatif ketika subsidi dikurangi dan harga BBM semakin mahal. Namun, dia menyebut hal itu dapat diatasi dengan cara pemerintah menyiapkan skema perlindungan sosial.

Dia berkata skema perliindungan sosial nantinya akan menjaga daya beli karena sebagian besar ekonomi Indonesia bergantung kepada konsumsi masyarakat, sekaligus untuk menjaga momentum positif pemulihan ekonomi Indonesia.

"Untuk menanggulangi dampak negatif maka pemerintah harus menyiapkan skema perlindungan sosial atau kompensasi kepada kelompok miskin dan rentan untuk pangan dan energi," ujar Teguh.

Langkah lain yang bisa dilakukan pemerintah adalah menyediakan mekanisme khusus untuk warga masyarakat mengajukan diri sebagai penerima bantuan sosial. Hal itu akan membantu penyaluran bantuan sosial lebih tepat sasaran dan jangkauan.

"Saya dari dulu mendorong ada mekanisme, misalnya on demand application untuk bantuan sosial. Artinya, orang yang benar-benar menderita belum terdaftar, diperkenankan mendaftar. Dari situ ada verifikasi," ujar Teguh.

Hal berbeda disampaikan oleh Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Dia menyarankan agar pemerintah menggunakan surplus APBN untuk tambal subsidi energi.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira . (Foto: Dok. Antara)

Menurut Bhima, pemerintah sebenarnya tengah menikmati surplus APBN di tingginya harga minyak dunia.

Sepanjang Januari ke Juli 2022, serapan subsidi energi baru Rp88,7 triliun berdasarkan data APBN Kita. Sementara APBN sedang surplus Rp106,1 triliun atau 0,57 persen dari PDB di periode Juli.

"Artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk dorong penerimaan negara. Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi?" katanya dihubungi VOI, Senin, 29 Agustus.

"Jangan ada indikasi, pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak urgen dan korbankan subsidi energi," sambungnya.

Sebagai solusi, menurut Bhima, pemerintah bisa lakukan revisi aturan untuk hentikan kebocoran solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar.

"Dengan tutup kebocoran solar, bisa hemat pengeluaran subsidi karena 93 persen konsumsi solar adalah jenis subsidi. Atur dulu kebocoran solar subsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit, daripada melakukan kenaikan harga dan pembatasan BBM bersubsidi," jelasnya.