Bagikan:

JAKARTA - Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Kementerian Perdagangan Kasan mengatakan, para pelaku usaha sektor besi dan baja Indonesia perlu mengantisipasi pemberlakuan pembatasan karbon atau carbon border adjustment mechanism (CBAM).

CBAM adalah pengurangan emisi karbon dengan menambah tarif atau pajak bea masuk terhadap barang impor ke Uni Eropa (UE).

Adapun CBAM akan mulai diberlakukan pada 2026 terhadap lima produk utama, termasuk besi dan baja sebagai salah satu produk unggulan Indonesia di pasar UE.

"Pemberlakuan CBAM menjadi tantangan Indonesia dalam perdagangan internasional, khususnya di sektor besi dan baja. Dengan antisipasi sejak dini diharapkan besi dan baja sebagai produk potensial Indonesia tetap tumbuh ekspornya, baik di pasar UE maupun pasar lain di dunia dengan mempertimbangkan isu pengurangan emisi karbon," katanya dalam keterangan resmi, Kamis, 25 Agustus.

Pemberlakuan CBAM akan dimulai pada 2023-2025 dengan pelaporan jumlah emisi yang terkandung dalam produk tanpa pembayaran pajak karbonnya.

Sementara mulai 2026, akan dilakukan pembayaran pajak secara menyeluruh.

Pada fase pertama, kata Kasan, jenis produk yang diberlakukan CBAM yaitu aluminium, besi dan baja, semen, pupuk, dan energi listrik.

"Di fase kedua, akan berpotensi dikembangkan untuk produk lain yang diduga menghasilkan emisi karbon dari UE dan non-UE," ucapnya.

Pada 2019 dan 2020, kata Kasan, China, Rusia, dan Turki merupakan pemasok terbesar ke UE untuk produk besi dan baja, semen, energi listrik, pupuk, dan alumunium. Ketiga negara tersebut akan terkena dampak terbesar dari CBAM.

Indonesia Diproyeksi Alami Penurunan Ekspor Besi Baja

Kasan mengatakan, Indonesia menempati peringkat ke-51 sebagai negara asal impor produk CBAM UE pada 2020.

Produk besi dan baja memiliki pangsa ekspor paling tinggi jika dibandingkan dengan empat produk lainnya.

Pada 2019, pangsa ekspor besi dan baja Indonesia ke UE tercatat 10,7 persen dari total pangsa ekspor besi dan baja Indonesia ke dunia.

Namun, kata Kasan, persentase tersebut menurun pada 2020 dengan pangsa ekspor 7,9 persen dari total ekspor besi dan baja Indonesia ke dunia.

"Seiring dengan upaya peningkatan ekspor Indonesia terutama besi dan baja ke negara-negara UE, perlu dilakukan identifikasi hambatan perdagangan, baik yang bersifat tarif maupun non-tarif, termasuk CBAM. Indonesia diproyeksikan mengalami penurunan ekspor besi baja Indonesia terkait penerapan CBAM oleh negara-negara UE," katanya.

Karena itu, kata Kasan, Kementerian Perdagangan telah melayangkan protes keras kepada Komisi Eropa melalui surat Menteri Perdagangan pada 14 Januari 2022 silam.

"Kementerian Perdagangan berkomitmen untuk terus mendukung akses pasar produk asal Indonesia ke negara mitra unggulan. Salah satunya dengan memberikan gambaran kepada pelaku usaha akan dampak CBAM terhadap industri besi dan baja," pungkas Kasan.