JAKARTA - Pemerintah semakin serius untuk membina dan membangun industri baja nasional, baik itu yang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta. Oleh karena itu, berbagai langkah strategis disiapkan agar industri baja di Tanah Air bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan berdaya saing hingga kancah global.
“Salah satu pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan saat ini adalah menekan impor dan fokus terhadap peningkatan utilisasi industri-industri baja nasional agar bisa menyuplai kebutuhan bahan baku bagi sektor hilir di dalam negeri,” kata Menteri Perindustrian(Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan tertulis yang dikutip Kamis 13 Februari.
Menperin menegaskan, guna mendongkrak utilisasi tersebut, pihaknya terus mendorong industri baja nasional supaya menerapkan teknologi modern dalam proses produksinya. Hal ini guna menghasilkan produk berkualitas secara lebih efisien, sehingga akan mampu kompetitif dari sisi harga dengan produk luar negeri.
“Apalagi, Indonesia punya potensi bahan baku yang cukup besar, seperti cadangan pasir besi di Pulau Jawa yang masih perlu diolah lagi untuk meningkatkan nilai tambahnya. Hal ini tentunya butuh teknologi yang update untuk bisa menghasilkan produksi lebih maksimal,” paparnya.
Lebih lanjut, guna mengurangi banjirnya produk baja dan besi yang berasal dari impor, pemerintah siap memberikan perlindungan bagi industri di dalam negeri. Kebijakan itu misalnya melalui pengenaan bea masuk anti dumping (BMAD), safeguard, dan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib produk baja.
“Selanjutnya, kita harus melihat gambaran umum dari data tata niaga baja itu sendiri. Jadi, dari data statistik yang kami miliki, sebetulnya industri baja nasional itu bisa menyuplai sampai 70 persen dari kebutuhan dalam negeri kalau bisa ditingkatkan kapasitasnya. Sedangkan, sisa 30 persennya memang belum ada industrinya di dalam negeri,” ungkapnya.
BACA JUGA:
Agus menyampaikan, kebijakan untuk menekan impor baja ini diyakini dapat mengoptimalkan kapasitas produksi industri di dalam negeri. “Artinya, pasokan dalam negeri tetap dalam porsi yang maksimal,” imbuhnya.
Telah Diputuskan
Di samping itu, dalam rapat terbatas (ratas) dengan Presiden Jokowi kemarin, telah diputuskan bahwa slag tidak lagi dianggap sebagai limbah. Sebab, hanya ada dua negara di dunia yang melihat slag itu sebagai limbah, yakni Indonesia dan Belgia.
“Sementara Belgia sendiri sudah tidak ada industrinya,” tegas Menperin.
Berdasarkan penilaian dari Evironment Protection Energy (EPA), slag dari baja dan besi tidak membahayakan. “Jadi, kita ikuti international practice seperti apa,” sebutnya.
Menperin menambahkan, di Uni Eropa dan Jepang, slag bajadigunakan sepenuhnya untuk proses produksi ulang yang sejalandengan konsep circular economy. “Jadi, slag baja itu tidak dianggap sebagai sampah, tetapi bisa digunakan sebagai bahan baku untuk mendukung circular economy,” terangnya.
Kemudian, dalam ratas juga diputuskan relaksasi impor untuk scrap logam karena industri dalam negeri membutuhkannya sebagai bahan baku dan mendukung hilirisasi. Saat ini, kebutuhan scrap mencapai 9 juta ton, yang dapat mendukung produksi billet sebesar 4 juta ton per tahun.
Penggunaan scrap dinilai akan berdampak positif terhadap beberapa aspek, antara lain menghemat defisit neraca sekitar 100 dolar AS per ton. “Apabila produksinya bisa mencapai 4 juta ton per tahun, bisa saya katakan juga ada opportunity loss bagi industri dalam negeri, 400 juta dolar AS per tahun,” jelasnya.
Selain itu, penggunaan scrap juga dinilai akan berdampak positifdengan meningkatnya daya saing industri hilir karena mendapatkan bahan baku yang lebih kompetitif serta memperluas peluang kerja.