Bagikan:

JAKARTA - Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim mengaku optimis Indonesia dapat menekan impor baja dengan meningkatkan produksi industri dalam negeri. Dengan menekan impor, maka negara bisa berhemat hingga Rp29 triliun. Seperti diketahui, impor baja saat ini masih tinggi.

"Makanya Pak Presiden Jokowi menyampaikan kita bisa berhemat Rp29 triliun. Kalau impor-impor ini bisa ditata lebih baik, bisa lebih besar lagi (nilainya)," ucapnya dikutip dalam wawancara dengan IDX Channel, Rabu, 22 September.

Silmy mengatakan data konsumsi baja kian meningkat setiap tahunnya. Pada 2014 konsumsi baja Indonesia mencapai 50 kilogram (kg) per kapita per tahun. Sementara, pada 2019, jumlah tersebut naik hingga 71 kg per kapita per tahun.

Lebih lanjut, Silmy menjelaskan kebutuhan normal pasar domestik adalah 4,5 juta ton hanya untuk hot rolled coil (HRC). Kalau kondisi sedang tidak normal seperti sedang COVID-19, kebutuhan pasar domestik hanya di angka 3,5 juta ton. Menurut dia, dengan adanya pabrik baru milik Krakatau Steel yang memiliki kapasitas 1,5 juta, kebutuhan domestik bisa terpenuhi. Artinya, Indonesia tak perlu impor.

"Nah kapasitas Krakatau Steel ada 1,5 juta ton yang baru kita launching kemarin pabriknya. Sebelumnya ada 2,4 juta ton. Artinya Krakatau Steel sendiri 3,9 juta ton. Di tambah produsen lain HRC di Indonesia ada 1 juta ton. Sehingga ada 3,9 ditambah 1 juta, artinya ada 4,9 juta ton. Kalau kita melihat kebutuhan yang hanya 3,5 sampai 4,5 juta ton sudah terpenuhi. Harusnya impor tidak dibutuhkan," ujarnya.

Silmy mengatakan kenaikan konsumsi baja dapat digunakan sebagai kesempatan bagi industri baja nasional. Namun, kondisi ini justru dimanfaatkan oleh oknum trader untuk melakukan impor. Menurut dia, Indonesia tak mungkin anti impor, namun harus memenuhi aturan mainnya.

"Jadi kalau kita impor harus pada produk produk yang tidak dapat diproduksi, kemudian harus memenuhi aturan main, harus memenuhi standar dan yang kita bangun itu kan satu ekosistem industri, satu klaster industri dari hulu sampai hilir. Nah ini kan harus istilahnya dijaga supaya antara hulu dan hilir bisa sinkron," jelasnya.

Menurut Silmy, jika sektor hilirnya dibiarkan impor, maka hulunya akan terkena dampak. Karena produknya tidak jalan, sebab hilirnya sudah dapat dipenuhi dengan impor. Kemudian dengan impor harga dumping, tentu akan merusak struktur harga.

"Dengan merusak struktur harga bisnis itu tidak optimal. Karena harus menghadapi harga dumping dan itu akan membuat suatu industri di suatu negara mati. Setelah mati akan menjadi ketergantungan terhadap impor 100 persen. Itu berbahaya. Indonesia negara besar dengan cita-cita besar, kalau hanya kalah dengan para importir atau kalah dengan produk-produk luar itu kan sangat menyedihkan," ucapnya.

Sekadar informasi, pada kuartal IV 2020, Indonesia telah mengimpor baja hingga 1,1 juta ton dengan nilai sebesar 764 juta dolar. Jumlah tersebut naik hingga 19 persen pada kuartal I 2021 menjadi 1,3 juta ton dengan nilai sebesar 1 miliar dolar AS.

Karena itu, Silmy mengatakan ke depan, Krakatau Steel akan melakukan sejumlah investasi seperti pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) dan memproduksi turunan baja yang bernilai miliaran dolar.

"Jadi 700 juta dolar AS untuk CRM (produk turunan baja), kemudian hulunya (smelter) total mungkin sekitar 3,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp50 triliun untuk investasi selanjutnya," ucapnya.

Silmy berujar pada 2025, perusahaan ini mampu membangun smelter tambahan. Tak hanya itu, Silmy juga menargetkan menambahkan produk turunan baja pada tahun 2022.

"Kami akan tingkatkan produksi sehingga impor dapat diminimalisir, sesuai arahan Bapak Presiden. Tentu (peningkatan produksi) ini juga akan memberikan keuntungan bagi pelaku usaha dan negara berupa penghematan devisa," ujarnya.