Subsidi BBM Dinikmati Kelompok Kaya, Ekonom: Mesti Diubah Jadi Bantuan Tunai
Ilustrasi. (Foto: Dok. BPMI Setpres/Kris)

Bagikan:

JAKARTA - Masyarakat rentan harus dilindungi dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) jika pemerintah akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebab, bansos BLT dinilai terbukti efektif dan dapat dipertanggung jawabkan datanya.

Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan kenaikan harga BBM nanti juga pasti akan mempengaruhi harga pangan, yang langsung terasa pada masyarakat rentan.

“Sehingga kenaikan harga pangan terasa di masyarakat bawah, yang komponen dan proporsi belanja buat makanan tinggi yaitu 20 sampai 40 persen, itu perlu dilindungi, mekanisme BLT terbukti bisa didata dan dihitung,” kata Berly, Selasa, 16 Agustus.

Apalagi, sambung Berly, subsidi BBM sudah sangat membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), padahal dampaknya tidak produktif.

“Subsidi BBM regresif ya, cenderung dinikmati yang semakin kaya, semakin banyak mobil, semakin banyak jalan,” jelas Berly.

Karena itu, menurut Berly, ini saatnya pemerintah untuk ‘taking the hard choice’ dan menjelaskan ke masyarakat. “Dan memitigasi dampak pada masyarakat, elemen yang paling rentan,” tuturnya.

Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto mengungkapkan tren positif pemulihan ekonomi Indonesia tengah dihadapkan pada persoalan subsidi energi sebagai dampak dari gejolak ekonomi global. Karena itu, evaluasi subsidi BBM layak dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi beban fiskal.

“Tren pemulihan ekonomi akan mengalami gangguan karena gejolak ekonomi global yang menuju resesi. Evaluasi subsidi BBM menurut saya layak dilakukan karena bisa mengurangi beban fiskal,” jelas Teguh.

Perlindungan Sosial

Selain itu, kata Teguh, dampak inflasi sudah cukup memberatkan masyarakat meski BBM belum naik. Hal itu bisa dilihat dari kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok di pasaran.

“Artinya, dari sisi perlindungan sosial atau bantalan sosial, walaupun belum ada evaluasi harga BBM, harga kebutuhan pokok sudah naik,” tandasnya.

Teguh menegaskan akan ada dampak negatif ketika subsidi dikurangi dan harga BBM semakin mahal. Karena itu, pemerintah diminta untuk menyiapkan skema perlindungan sosial untuk menjaga daya beli. Sebab, sebagian besar ekonomi Indonesia bergantung kepada konsumsi masyarakat, sekaligus untuk menjaga momentum positif pemulihan ekonomi Indonesia.

“Untuk menanggulangi dampak negatif maka pemerintah harus menyiapkan skema perlindungan sosial atau kompensasi kepada kelompok miskin dan rentan untuk pangan dan energi,” ujarnya.

Meski demikian, Teguh menilai skema perlindungan sosial belum cukup mumpuni saat ini. Pemerintah diminta untuk meningkatkan besaran dana dan cakupan skema perlindungan sosial. “Masih belum cukup. Bisa ditingkatkan besaran nilainya dan cakupannya,” ujar Teguh.

Tak hanya itu, pemerintah juga diminta untuk melakukan pemutakhiran data terkait kelompok masyarakat terimbas. Sebab, dampak ekonomi kali ini bisa meluas.

“Bagaimana ini mempercepat pemutakhiran data, siapa yang berhak atau tidak. Artinya dampak ini tidak hanya di kelompok bawah,” tuturnya.

Teguh juga menyarankan pemerintah menyediakan mekanisme khusus untuk warga masyarakat mengajukan diri sebagai penerima bantuan sosial. Tujuannya untuk membantu penyaluran bantuan sosial lebih tepat sasaran dan jangkauan.

“Saya dari dulu mendorong ada mekanisme, misalnya on demand application untuk bantuan sosial. Artinya, orang yang benar-benar menderita belum terdaftar, diperkenankan mendaftar. Dari situ ada verifikasi,” pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengisyaratkan pemerintah akan mengkaji sistem penyaluran subsidi BBM dan opsi kenaikan harga BBM.

“Di tengah kenaikan harga-harga energi dunia, Indonesia masih melakukan subsidi ataupun memanfaatkan kekuatan fiskal untuk menyerap sebagian daripada kenaikan harga pangan maupun energi. Sedangkan negara-negara lain melakukan “pass-through” yang berarti harga energi ditransmisikan kepada masyarakat,” kata Airlangga.