Bagikan:

JAKARTA - Pengamat Kebijakan Energi, Komaidi Notonegoro, mengatakan subsidi sejatinya untuk mewujudkan keadilan sosial atau memeratakan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Namun ia melihat subsidi BBM seperti yang diberlakukan saat ini justru menciptakan kesenjangan sosial yang semakin besar.

Ia menambahkan filosofi subsidi sejatinya untuk rakyat miskin. Garis kemiskinan pada Semester I 2022 adalah Rp505.469 per kapita per bulan. Sementara jumlah penduduk miskin sebanyak 26,16 juta jiwa.

"Jika dibagi rata untuk rakyat miskin, yakni Rp502 triliun dibagi 26,16 juta dan dibagi lagi 12 bulan, maka total dana subsidi yang seharusnya dinikmati adalah Rp1.599.134 per bulan per orang," kata Komaidi, Sabtu 3 September.

"Yang memiliki kendaraan, mobil dan motor, tentunya bukan yang termasuk di garis kemiskinan, yang naik motor dan mobil dikasih subsidi BBM, sementara yang jalan kaki dan naik sepeda tidak mendapatkan akses subsidi BBM," ujarnya menambahkan.

Saat ini, terjadi selisih gap harga Pertalite sebesar Rp6.800 per liter dari harga jual eceran sebesar Rp7.650 per liter dibanding harga keekonomian Rp14.450 per liter.

Ekonom senior, Ryan Kiryanto menilai kenaikan harga BBM perlu dilakukan. Namun, dia menyarankan kenaikan tidak dilakukan secara bertahap.

"Ketika akan naik, kita bicara mengenai penetapan waktu, efek psikologisnya ini saya agak khawatir," ujar dia dalam sebuah webinar yang diadakan Urban Forum.

"Ini kan pemahaman masyarakat awam kalau dengar kata akan naik itu dipersepsikan naik," kata Ryan menambahkan.

Naiknya harga-harga komoditas saat ini dikarenakan adanya persepsi yang terbentuk di pasar akibat kabar kenaikan harga BBM bersubsidi itu.

"Ada efek menjalar," kata Ryan menegaskan.

Ryan mengatakan kebijakan pemerintah yang memberikan Bantuan Langsung Tunai atau BLT kepada masyarakat miskin dapat menjadi bemper untuk mencegah pelambatan ekonomi.

"Kalau pun ada pressure ke PDB tidak terlalu besar karena kelas menengah ada, termasuk orang-orang kaya masih bisa menahan perlambatan ekonomi. Indonesia masih punya daya beli yang kuat," kata Ryan.