Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya dalam pengurangan emisi karbon melalui program transisi energi.

Dalam menjalankan proses ini tentu pemerintah tidak bisa mengabaikan kondisi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani menilai dalam proses transisi energi, Indonesia sudah memiliki serangkaian program.

Namun, investasi yang dibutuhkan untuk proyek energi bersih ini tidak sedikit.

Sedangkan posisi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) saat ini terbagi porsinya untuk jaring pengaman sosial melalui skema subsidi.

"Jika kami tidak menghitungnya secara cermat akan sangat berimplikasi bagi masyarakat. Bahkan ini juga akan berimplikasi kepada PLN sebagai perusahaan listrik kami," ujar Sri Mulyani kepada wartawan, Minggu 17 Juli.

Sri Mulyani menyinggung soal mahalnya investasi pembangunan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) dan juga langkah mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang saat ini sedang dilakukan oleh PLN.

"Apalagi, selama ini suku bunga cenderung sangat tajam dan ini sangat berat. Jika tidak ada support global maka rencana ini tidak bisa ter-deliver secara cepat," ujar Sri Mulyani.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan kapasitas daya listrik di Indonesia saat ini mencapai sekitar 63 gigawatt (GW).

Pertumbuhan permintaan terus bertambah setiap tahun sehingga pada 2060 mendatang kebutuhan listrik bisa mencapai 200 GW.

"Untuk menjawab tantangan tersebut, PLN butuh tambahan pendanaan minimal USD 500 miliar. Sehingga satu-satunya cara maju adalah dengan melalui kolaborasi kebijakan, strategi, hingga investasi," ujar Darmawan.

Namun, Ia menegaskan, PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tak hanya bertugas menjalankan transisi energi.

Di satu sisi, PLN juga mendapatkan tugas untuk bisa mengurangi kemiskinan dengan menjaga daya beli masyarakat.

"Jika dalam menjalankan proyek transisi ini bergantung pada anggaran pemerintah saja, maka tidak akan bisa berkelanjutan. Karena di sana ada anggaran untuk penanganan stunting, pengentasan kemiskinan, hingga pendidikan untuk kelompok miskin yang juga sangat penting," ujar Darmawan.

Ia menegaskan, pentingnya kolaborasi semua pihak untuk bisa menyukseskan langkah Indonesia dalam transisi energi.

“Kita membutuhkan kolaborasi kebijakan, teknologi, dan investasi. Karena transisi energi membutuhkan pendanaan yang besar. Dengan kerja sama ini, kami jadi sadar tidak menghadapi krisis ini sendiri," tutup Darmawan.

Untuk diketahui, pemerintah telah menggelontorkan subsidi untuk listrik sebesar Rp243,3 triliun dan kompensasi sebesar Rp94,17 triliun sejak tahun 2017 hingga 2021.

Pada tahun ini, pemerintah masih memberikan dukungan subsidi dan kompensasi kepada pelanggan sebesar Rp125 triliun, yang terdiri atas subsidi Rp62 triliun dan kompensasi Rp63 triliun.